MEDIAPUBLIKA.com – Sebuah ketimpangan mencolok disorot tajam oleh Anggota DPRD Lampung dari Dapil Lampung Tengah, Munir Abdul Haris, dalam rapat paripurna DPRD Provinsi Lampung, Jumat (11/07).
Munir menegaskan untuk mengawal perjuangan warga SP I dan II Way Terusan, Kecamatan Bandar Mataram, yang hingga kini belum diakui sebagai desa definitif meski telah memenuhi semua syarat administratif.
Di hadapan Gubernur Lampung dan Pimpinan DPRD, Munir menginterupsi jalannya paripurna untuk menyampaikan langsung keresahan masyarakat yang selama ini hidup dalam bayang-bayang ketidakjelasan status administratif dan minimnya akses hak dasar.
“Izin pimpinan, saya mendapatkan amanah dari masyarakat unit pemukiman transmigrasi SP I dan II Way Terusan, Lampung Tengah, tentang keinginan mereka menjadi desa definitif,” tegas Munir lantang.
Munir membeberkan, wilayah SP I dan II adalah hasil dari program transmigrasi lokal sejak 1996 untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja PT Indo Lampung anak perusahaan dari PT Sugar Group Companies (SGC). Namun ironisnya, selama hampir 25 tahun, warga di wilayah itu hidup tanpa listrik dan tanpa pengakuan administratif yang layak.
“Setelah 79 tahun merdeka, ada wilayah di Lampung yang baru mendapat listrik tahun 2023. Itu pun bukan karena negara, tapi karena perjuangan anak-anak muda seperti Wilanda Riski dan rekan-rekannya, yang bahkan sempat mendapat intimidasi,” ungkapnya.
Munir menyebut, masyarakat SP I dan II selama ini digabungkan secara administratif dengan Kampung Mataram Udik, padahal secara faktual, wilayah tersebut telah memiliki infrastruktur desa lengkap seperti sekolah, puskesmas, tempat ibadah, kantor kepala kampung, hingga jumlah penduduk dan KK yang memenuhi syarat pembentukan desa definitif berdasarkan undang-undang.
Munir juga mendesak Pemprov Lampung segera berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Desa Tertinggal, hingga PT SGC sebagai pemilik wilayah konsesi, untuk segera merelakan SP I dan II berdaulat sebagai desa.
“Tanpa dukungan PT SGC, status desa definitif ini akan terus mandek. Padahal masyarakat sudah lebih dari siap, mereka hanya butuh pengakuan,” ujar Munir.
Munir menegaskan, perjuangan ini bukan hanya soal status administratif, tapi soal martabat dan keadilan bagi ribuan jiwa yang selama puluhan tahun hidup di “wilayah abu-abu”. (*)