MEDIAPUBLIKA.com – Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat
Neilmaldrin Noor mengatakan pemerintah berusaha semaksimal mungkin mengumpulkan penerimaan dari semua subjek pajak sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan yang
berlaku.
“Hal ini untuk merespon adanya pertanyaan dari masyarakat terkait bagaimana Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menggali potensi penerimaan pajak,” ujarnya, Jumat (22/07/22).
Selama ini, pemerintah dalam hal ini DJP terus memperbaiki sistem administrasi serta kepastian regulasinya untuk memperluas basis data perpajakan.
Pemerintah telah memiliki kewenangan untuk meminta data keuangan berupa laporan keuangan, bukti, maupun
keterangan dari lembaga jasa keuangan, seperti perbankan, pasar modal, perasuransian, atau jasa keuangan lainnya berdasarkan UU Nomor 9 Tahun 2017 tentang penetapan Perppu 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan menjadi
Undang-undang, yang data tersebut secara rutin diterima oleh DJP setiap bulan April.
69 Instansi, Lembaga, Asosiasi, dan Pihak Lainnya juga mengirim data terkait perpajakan secara berkala kepada DJP yang diterima setiap bulan, setiap semester atau setiap tahun tergantung dari jenis datanya.
Tidak hanya itu, Pemerintah Indonesia juga aktif berpartisipasi dalam pertukaran data otomatis (AEOI) dengan banyak yurisdiksi di dunia, tercatat saat ini sudah ada 113 yurisdiksi partisipan (inbound), dan 95 yurisdiki tujuan pelaporan (outbound) yang
diterima setiap bulan September.
Berdasarkan data yang bersumber sebagaimana disampaikan di atas, DJP melakukan tugas dan fungsinya yaitu melakukan pengujian baik formal maupun material terhadap kepatuhan Wajib Pajak, dan juga melakukan pengawasan termasuk pengawasan berbasis kewilayahan.
Kegiatan pengujian kepatuhan dan pengawasan dilaksanakan terkait dengan pemungutan pajak di Indonesia yang didasarkan pada Self-Assessment System, di mana Wajib Pajak menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri kewajiban
perpajakannya.
Apabila berdasarkan pelaksanan tugas dan fungsi tersebut terdapat ketidaksesuaian antara data yang diperoleh DJP dengan Surat Pemberitahuan (SPT) yang dilaporkan maka akan ditindaklanjuti dengan surat imbauan atau permintaan penjelasan/klarifikasi, yang kemudian dapat berlanjut sampai dengan kegiatan pengujian
kepatuhan berupa pemeriksaan.
Apabila data yang diperoleh menyatakan belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) maka akan ditindaklanjuti dengan imbauan untuk mendaftarkan diri atau DJP akan menerbitkan NPWP secara jabatan.
Dalam melakukan pengawasan terhadap kepatuhan Wajib Pajak, DJP juga memetakan Wajib Pajak berdasarkan skala usahanya.
DJP membagi Wajib Pajak di KPP Pratama dalam dua kategori, yaitu Wajib Pajak Strategis dan Wajib Pajak Kewilayahan. Klasifikasi ini dimaksudkan agar pengawasan berjalan lebih efisien.
Terhadap Wajib Pajak Strategis, DJP melakukan pengawasan secara lebih intensif. Hal ini dikarenakan skala usaha mereka lebih besar, lebih kompleks, dan proses bisnisnya lebih rumit. Mereka dikelola oleh satu seksi tersendiri.
Dalam kurun waktu tahun 2020 sampai
dengan bulan Juni 2022 DJP telah menerbitkan lebih dari 400 ribu surat imbauan/permintaan penjelasan kepada Wajib Pajak Strategis tersebut.
Terhadap Wajib Pajak Kewilayahan, DJP menerapkan model pengawasan yang sedikit berbeda dengan Wajib Pajak Strategis. Pengawasan dilakukan melalui penguasaan wilayah kerja dan memanfaatkan data terkait Izin Mendirikan Bangunan, Izin Usaha, peta wilayah, dan
sebagainya. Data ini disusun menjadi Daftar Sasaran Ekstensifikasi (DSE). DSE menjadi
dasar pelaksanaan kegiatan ekstensifikasi Wajib Pajak baru.
Melalui perjalanan Reformasi Perpajakan yang telah berlangsung lama, jumlah Wajib Pajak telah tumbuh secara signifikan. Dari hanya 2,59 juta Wajib Pajak di tahun 2002, saat ini sudah mencapai 45 juta lebih Wajib Pajak yang terdaftar. Rasio kepatuhan penyampaian SPT Wajib pajak terdaftar juga terus meningkat. Tahun 2010 rasionya masih dikisaran 45%, namun di tahun 2021 rasionya sudah melebihi 80%.
Wajib Pajak yang menyampaikan SPT secara elektronik juga terus meningkat mencapai 96% untuk SPT Tahun 2021 lalu.
Dalam melakukan penggalian potensi pajak, DJP menerapkan cara yang terstruktur, metodis, dan objektif dengan menggunakan Compliance Risk Management (CRM) untuk memetakan profil Wajib Pajak berbasis risiko kepatuhan.
CRM adalah mesin resiko yang memetakan
risiko kepatuhan Wajib Pajak berdasarkan data SPT yang disandingkan dengan data yang diterima dari pihak ketiga. Hal inilah yang menjadi dasar penerbitan surat imbauan/permintaan penjelasan.
Total imbauan/permintaan penjelasan yang sudah diterbitkan DJP dalam kurun
waktu tahun 2019 s.d 2021 sebanyak 9,5 juta surat yang ditujukan kepada 3,9 juta Wajib Pajak.
Neil juga menegaskan, bahwa DJP terbuka terhadap informasi terkait kegiatan usaha atau potensi pajak dari masyarakat. “Setiap informasi yang masuk, kami tindaklanjuti secara sistematis. Kami punya prosedur bernama pemeriksaan atas Informasi, Data, Laporan, dan Pengaduan (IDLP),” tegasnya.
Atas Wajib Pajak yang selama ini belum seluruhnya melaporkan harta dalam SPT Tahunan tahun 2020, DJP belum lama ini memberikan kesempatan kepada Wajib Pajak untuk mengungkapkan hartanya secara sukarela melalui Program Pengungkapan Sukarela (PPS).
Kesempatan ini diberikan secara terbuka, transparan dan adil kepada semua Wajib Pajak sebelum DJP menjalankan Undang-undang pajak secara konsisten, transparan, dan akuntabel sebagai bentuk gotong royong membangun Indonesia.
Selain imbauan secara terbuka, DJP juga mengirimkan imbauan mengikuti PPS kepada Wajib Pajak yang didasarkan
hasil analisis yang menyatakan adanya ketidaksesuaian antara data yang dilaporkan dalam SPT dengan data yang diterima DJP dari pihak ketiga.
Terbaru, pemerintah sudah mengintegrasikan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dengan NPWP. Dengan implementasi NIK sebagai NPWP, semua yang ber-NIK otomatis masuk di
dalam sistem administrasi perpajakan dan wajib memenuhi kewajiban perpajakannya apabila sudah memenuhi syarat subjektif dan objektif.
Untuk Wajib Pajak badan, kemungkinan untuk tidak terdaftar dalam administrasi DJP juga semakin kecil karena DJP bekerja sama dengan 28 Kementerian/Lembaga dan 542 Pemerintah Daerah telah menerapkan program Konfirmasi Status Wajib Pajak (KSWP), sehingga izin untuk berusaha hanya akan dapat diterbitkan apabila sudah memiliki NPWP.
Namun, sesuai ketentuan Pasal 34 UU KUP, setiap pejabat, baik petugas pajak maupun
mereka yang melakukan tugas di bidang perpajakan dilarang mengungkapkan kerahasiaan Wajib Pajak yang menyangkut masalah perpajakan, sehingga kegiatan pengawasan dan pengujian kepatuhan pada Wajib Pajak tidak dapat dipublikasikan
“Dengan berbagai milestone Reformasi Perpajakan yang sudah diterapkan di DJP, maka langkah pengawasan DJP akan semakin efektif karena didukung basis data yang sudah sangat lengkap, walaupun belum sempurna, namun terus ditingkatkan. Sehingga, bila ada Wajib Pajak yang tidak patuh, atau jika ada yang tidak mendaftar sebagai Wajib Pajak, cepat atau lambat pasti akan diketahui dan akan menghadapi risiko ketidakpatuhan dimulai dengan
imbauan sampai penegakan hukum pajak,” pungkasnya. (*).