MEDIAPUBLIKA.com – Tidak bisa ditampik pandemi Covid-19 lalu bisa dibilang sebagai sengsara membawa kemajuan. Terutama di bidang digital.
Pernyataan tersebut disampaikan Guru Besar FKIP Unila Prof. Dr. Bujang Rahman, M.Si dalam Forum Group Discussion (FGD) bertema Penguatan Literasi Digital Menjawab Perda Nomor 17 Tahun 2019 tentang Peningkatan Budaya Literasi.
Kegiatan yang diselenggarakan Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Wilayah Lampung di gedung perpustakaan modern Lampung ini, diikuti oleh ketua-ketua Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) dan Satgas GLS (Gerakan Literasi Sekolah) se-Provinsi Lampung serta kepala sekolah dari seluruh SMAN/SMKN di Bandar Lampung.
“Kalau tidak ada Covid mana ada sekolah online. Sekarang semua malah sudah serba teknologi digital, pakai internet. Orang Indonesia itu kecenderungannya memang serupa itu. Apa pun kalau dipaksa, bisa. Saya curiga, peningkatan budaya literasi di sekolah di Lampung juga mesti dipaksa dulu,” ungkap Bujang, Senin (27 Mei 2024).
Dirinya juga menguraikan berbagai jenis literasi. Seperti literasi sosial budaya. Menurutnya, orang yang punya budaya literasi sosial akan memiliki empati. Dia lantas menyinggung salah satu tugas guru bukan hanya mengajar, tetapi mendidik. Mendidik itu menanamkan nilai, menanamkan rasa empati. How to feel, bagaimana merasakan apa yang dirasakan orang lain.
“Karena mengajar dan mendidik itu dua hal yang berbeda. Bila masih ada guru yang baru bisa sebatas mengajar, karena belum mampu menanamkan nilai-nilai seperti yang dimaksud dari pengertian mendidik, maka guru itu tidak pantas mendapat tunjangan pendidikan,” tegasnya.
Bujang mengajak peserta FGD yang notabene pendidik untuk kembali menelaah tunjangan sertifikasi yang diberikan kepada pendidik profesional, bukan pengajar profesional. Lalu dia melanjutkan yang dimaksud dengan literasi ekonomi.
“Penjelasan sederhananya bisa membedakan mana yang prioritas dan bukan prioritas. Itu saja. Kalau para pendidik bisa memahami literasi ekonomi ini tentu bisa dengan mudah memahami apakah pembentukan budaya literasi itu penting atau tidak bagi anak didik,” jelasnya.
Berikutnya, sambung Bujang, literasi teknologi. Puncak dari literasi teknologi adalah literasi digital. “Apa yang dihasilkan dari pemahaman literasi teknologi ini? salah satunya menghasilkan individu yang mampu berpikir kritis. Sebab pada era literasi digital seperti sekarang di dalam informasi yang beredar ada ilmu pengetahuan tetapi juga ada hoaks. Maka dibutuhkan kemampuan kritis untuk memilahnya. Sebaliknya bila tidak punya kemampuan itu, siap-siap saja menjadi korban literasi digital,” terangnya.
Dirinya menegaskan, literasi teknologi ini bagian dari literasi digital, seperti program yang diusulkan AMSI Lampung. “Sehingga mau tidak mau, suka tidak suka, sekolah harus melaksanakan literasi digital. Ini sejalan dengan kriteria atau ciri-ciri manusia cakap pada abad 21. Jangan hidup di abad ini kalau tidak memahami dan menguasai literasi digital. Karena pasti akan menderita. Ketinggalan,” kata Bujang.
Jadi, tambahnya, inti dari literasi digital adalah kemampuan berpikir kritis dan sensitif. Dirinya juga merujuk pada data dimana pada 2022 lalu tingkat literasi digital di Lampung masih sangat rendah. Berada di bawah Kepulauan Riau, Jambi, Bengkulu bahkan Papua. Dia mengkritisi apakah para pemangku pendidikan di Lampung masih mau berpangku tangan menyikapi hal tersebut?
Terkait hal itu Bujang merekomendasikan solusi pada gerakan literasi sekolah yang berorientasi pada literasi digital. Yakni, pertama, semua pemangku pendidikan memahami secara komprehensif budaya literasi, khususnya literasi digital. Sekolah punya mitra namanya komite sekolah. Idealnya sekolah dan komite sekolah berembuk untuk mencari solusi peningkatan budaya literasi di sekolah, dalam hal ini literasi digital.
Kedua, semua sekolah wajib membentuk tim literasi. Tugasnya merencanakan dan mempercepat implementasi literasi digital di sekolah. Upaya ini sebagai jawaban dari pelaksanaan Perda Nomor 17 Tahun 2019 tentang Peningkatan Budaya Literasi. “Untuk menjawab perda tersebut caranya dengan membentuk tim literasi sekolah. Kuncinya di situ,” tegas Bujang.
Ketiga, sekolah melalui tim literasi sekolah, membuat dan melaksanakan program literasi digital.
Keempat, penguatan budaya literasi digital. “Cara paling efektif membudayakan literasi digital adalah dengan membikin malu bagi siapa yang tidak menerapkannya. Kalau masih ada warga sekolah yang tidak akrab dengan website sekolahnya dibikin malu. Biar pada akhirnya semua terlibat dalam literasi digital,” sarannya.
Dan kelima, budayakan membaca di kelas. Agar proses ini tidak menjemukan, disediakan bahan bacaan yang menarik. Bisa melalui konten website sekolah yang materinya disesuaikan.
“Misal, ketika memperingati Hari Bumi, sebelumnya tim literasi sekolah menyusun materi tentang Hari Bumi baru kemudian di posting ke website sekolah. Lalu pada saat Hari Anti Korupsi, buatkan juga materi yang relevan. Jadi pembiasaan melek literasi digital yang dilakukan sekolah berguna juga bagi pengembangan wawasan pelajar,” pungkas Bujang. (*)