MEDIAPUBLIKA.com – Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Provinsi Lampung Menggelar Sosialisasi Kebijakan Pemilik Manfaat (Beneficial Ownership) sebagai upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi, pencucian uang dan pendanaan terorisme, di Hotel Horison Lampung, Kamis (25/5/23).
Hadir narasumber diantaranya, Ida Mahmida, S.H Direktorat Perdata Ditjen Administrasi Hukum Umum), M. Reza Berawi, S.H., M.H. (Notaris Provinsi Lampung), Zainudin Hasan, S.H., M.H. (Akademisi Fakultas Hukum Universitas Bandar Lampung).
Dalam sambutan Kepala Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Sorta Delima Lumban Tobing yang di wakili oleh Kepala Divisi Pelayanan Hukum dan Ham, Alpius Sarumaha mengatakan, dinamika nasional, regional maupun global yang diiringi dengan perkembangan produk, aktivitas dan teknologi informasi, di satu sisi dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara, di sisi lainnya juga berpotensi meningkatkan penyalahgunaan fasilitas dan produk dari industri keuangan dan lembaga yang terkait dengan keuangan, yang rentan terhadap risiko dimanfaatkan pelaku kejahatan sebagai sarana maupun sasaran tindak pidana pencucian uang (TPPU) dan tindak pidana pendanaan terorisme (TPPT).
“Sebagai landasan hukum yang kuat untuk menjamin kepastian hukum, efektivitas Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang/Pencegahan Pendanaan Terorisme, telah disahkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan tan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme,” kata Sorta.
Meskipun demikian, lanjutnya, tipologi TPPU dan TPPT itu sendiri semakin kompleks, melintasi batas-batas yurisdiksi, dan menggunakan modus yang semakin variatif, dengan memanfaatkan lembaga di luar sistem keuangan, bahkan telah merambah ke berbagai sektor, dengan memanfaatkan ragam entitas seperti korporasi, dan ragam profesi termasuk notaris.
“Berdasarkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014, pada Pasal 1 angka 1 menyebutkan bahwa notaris merupakan pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik dan kewenangan lainnya yang diatur dalam Undang-undang Jabatan Notaris. Dalam pelaksanaan jabatannya notaris berperan pada saat pendirian, pendaftaran, perubahan atau pembubaran korporasi. Pada sisi inilah, korporasi dapat dan sering dijadikan sarana baik langsung maupun tidak langsung oleh pelaku tindak pidana yang merupakan pemilik manfaat dari hasil tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme,” kata dia.
Sorta menjelaskan, mengacu pada ketentuan Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi Dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, pada Pasal 3 menegaskan bahwa setiap korporasi wajib menetapkan Pemilik Manfaat dari korporasi dengan jumlah paling sedikit merupakan 1 (satu) personil dengan kriteria yang disesuaikan dengan bentuk korporasi. Lingkup korporasi meliputi perseroan terbatas; yayasan perkumpulan, koperasi, persekutuan komanditer/CV persekutuan firma, dan bentuk korporasi lainnya termasuk perseroan perorangan.
“Lebih lanjut pada Pasal 14 disebutkan bahwa korporasi wajib menerapkan prinsip mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi, yang meliputi identifikasi Pemilik Manfaat; dan verifikasi Pemilik Manfaat. Korporasi juga wajib menunjuk pejabat atau pegawai untuk melaksanakan penerapan prinsip mengenali Pemilik Manfaat dan menyediakan informasi mengenai Korporasi dan Pemilik Manfaat dari Korporasi atas dasar permintaan Instansi Berwenang dan instansi penegak hukum,” ucapnya.
Hal yang perlu diperhatikan disini, tambahnya, dengan mengacu pada ketentuan Pasal 18 Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2018 bahwa korporasi wajib menyampaikan informasi yang benar mengenai Pemilik Manfaat kepada Kementerian Hukum dan HAM. Penyampaian informasi disertai dengan surat pernyataan dari korporasi mengenai kebenaran informasi yang disampaikan.
“Adapun pihak yang dapat menyampaikan informasi Pemilik Manfaat tersebut yaitu pendiri atau pengurus Korporasi, notaris, atau pihak lain yang diberi kuasa oleh pendiri atau pengurus Korporasi untuk menyampaikan informasi Pemilik Manfaat dari Korporasi,” jelas Sorta.
Sebagai pedoman pelaksanaan prinsip mengenali pemilik manfaat korporasi ini, kata Sorta, telah diundangkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 15 Tahun 2019 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi, dan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 21 Tahun 2019 tentang Pengawasan Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi.
“Perlu saya tekankan disini bahwa kebijakan penerapan prinsip Pemilik Manfaat dari Korporasi ini adalah untuk melindungi kepentingan dari korporasi itu sendiri, melindungi notaris sebagai salah satu pihak yang dapat menyampaikan informasi pemiliki manfaat korporasi, dan tentu saja sebagi upaya mendukung program pemerintah dalam upaya mencegah tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana pendanaan terorisme,” ungkapnya.
“Melalui Sosialisasi Kebijakan terkait Pemilik Manfaat (Beneficial Ownership) kepada Korporasi di Wilayah, diharapkan dapat meningkatkan pemahaman dan kewajiban khususnya bagi notaris untuk menerapkan PMPJ dalam pelaksanaan pekerjaannya, dan kepedulian masyarakat pada umum mengenai upaya pencegahan tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana terorisme,” tutupnya. (*).