MEDIAPUBLIKA.com – Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) menyatakan keprihatinan mendalam atas gugatan perdata yang diajukan Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman terhadap PT Tempo Inti Media Tbk (Tempo) dengan nilai gugatan Rp 200 miliar.
Gugatan tersebut didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan nomor perkara 684/Pdt.G/2025/PN JKT SEL pada 1 Juli 2025. Gugatan dengan nilai eksesif ini berpotensi mengancam kebebasan pers dan menciptakan efek jera (chilling effect) bagi perusahaan media di Indonesia.
“Meskipun kami menghormati hak setiap warga negara untuk menggunakan jalur hukum, namun gugatan bernilai fantastis ini mengindikasikan praktik SLAPP (Strategic Lawsuit Against Public Participation) yaitu upaya membungkam media melalui beban finansial yang sangat berat,” ujar Amrie Hakim, Ketua Bidang Advokasi dan Regulasi AMSI, Rabu (5/11/25).
Sengketa pers antara Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman dengan Tempo berawal dari laporan sampul pemberitaan Tempo bertajuk “Poles-Poles Beras Busuk” yang tayang di akun X dan Instagram Tempo.co pada 16 Mei 2025. Perkara ini sudah dimediasi oleh Dewan Pers, sebagai lembaga yang berwenang menangani sengketa pers, dan sengketa terkait pemberitaan seharusnya dapat diselesaikan melalui mekanisme yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Tempo telah menjalankan semua rekomendasi, termasuk mengganti judul poster, menyampaikan permintaan maaf dan memoderasi konten. Dua mekanisme hak jawab dan hak koreksi sudah dipatuhi oleh Tempo, sehingga AMSI menilai gugatan ini berpotensi melanggar jaminan konstitusional kebebasan pers sebagaimana diatur dalam Pasal 28 dan 28F UUD 1945, serta bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 6/PUU-V/2007 yang makin memperkuat hak istimewa pers dalam pemberitaan yang menyangkut kepentingan publik.
Dalam hal pihak Menteri Pertanian Amran Sulaiman menilai Tempo belum seluruhnya melaksanakan putusan PPR Dewan Pers, AMSI menyarankan agar pihak Menteri Pertanian kembali mengadukan Tempo ke Dewan Pers sesuai mekanisme yang diatur dalam UU Pers, dan bukan mengajukan gugatan perdata terhadap Tempo. Pada saat yang sama, AMSI juga meminta Dewan Pers untuk memberi penjelasan ke publik secara terbuka. tentang PPR yang sudah diterbitkan sehingga tidak ditafsirkan secara berbeda oleh para pihak.
“Gugatan ini dapat menciptakan preseden berbahaya bagi ekosistem pers di Tanah Air. Jika dibiarkan, pejabat publik lain akan meniru pola ini untuk membungkam kritik, dan media akan takut memberitakan isu-isu penting yang melibatkan pejabat negara,” ungkap Amrie.
AMSI juga berpandangan bahwa nilai gugatan Rp 200 miliar juga adalah tidak proporsional. Berdasarkan yurisprudensi Mahkamah Agung (Yurisprudensi MA No. 864K/ Sip/1973 jo. Yurisprudensi No. 459K/Sip/1975), ganti rugi dalam perkara perdata harus proporsional dengan kerugian riil yang dapat dibuktikan, bukan klaim sepihak bersifat punitif (menghukum).
Sehubungan gugatan ini, AMSI menuntut pemerintah dan DPR untuk memberikan perhatian serius terhadap hal ini. “Presiden Prabowo perlu mengingatkan jajaran kabinetnya untuk menghormati kebebasan pers sesuai amanat konstitusi. Di samping itu, DPR perlu menggunakan fungsi pengawasan untuk memastikan tidak ada intimidasi terhadap pers, dan melakukan evaluasi implementasi UU Pers, khususnya perlindungan terhadap praktik SLAPP,” ucap Amrie.
AMSI mendorong penyelesaian sengketa ini melalui jalur yang lebih konstruktif seperti dialog langsung antara pihak terkait dan komitmen bersama untuk membangun komunikasi yang sehat antara pemerintah dan media.
“AMSI berdiri bersama Tempo dan seluruh media yang menjalankan fungsi kontrol sosial dengan integritas. Kami mendorong dialog, bukan konfrontasi, tetapi juga tidak akan diam melihat upaya intimidasi sistematis terhadap perusahaan pers,” tegas Amrie.
AMSI juga menegaskan komitmen untuk terus memantau perkembangan gugatan ini dan akan mengambil langkah-langkah advokasi yang diperlukan, termasuk berkoordinasi dengan pihak Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. (*)
