MEDIAPUBLIKA.com – Pers yang profesional adalah pers yang mampu memenuhi akurasi, keberimbangan informasi, independen, dan menjaga Kode Etik Jurnalistik.
Untuk mewujudkan profesionalisme Pers tidaklah sulit. Sebab unsur-unsur profesionalisme pers sudah tertuang didalam regulasi dan aturan main yang mengatur tentang pers, yaitu Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 Tentang Pers, Kode Etik Jurnalistik, dan berbagai macam pedoman yang diterbitkan oleh Dewan Pers, sebagai lembaga negara yang dibentuk untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional.
“Beberapa poin penting yang termaktub didalam UU Pers. Pada Bab II berbicara tentang asas fungsi, hak, kewajiban dan peranan pers. Pasal 3 ayat (1) menyebutkan Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. Ayat (2) disamping fungsi-fungsi tersebut ayat (1), pers nasional dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi,” kata Pemred sinarlampung.co, Juniardi, SIP, S.H., M.H., saat menjadi pembicara, dalam acara pelatihan Jurnalistik Persatuan Wartawan Republik Indonesia (PWRI) Lampung, Rabu, 20 November 2024, sore.
Dewan Pakar JMSI Lampung itu mengatakan Pasal 4 ayat (4) menyebutkan, dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak. Pasal 5 ayat (1) Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah. Ayat (2) Pers wajib melayani Hak Jawab dan ayat (3) Pers wajib melayani Hak Tolak.
Lalu di dalam pasal 6 disebutkan, bahwa Pers nasional melaksanakan peranannya memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui. Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormat kebhinekaan.
Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar. Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum. Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Pada bagian lain, UU Pers menyebutkan pada Bab III pasal 7 ayat (1) Wartawan bebas memilih organisasi wartawan. Ayat (2) Wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik.
“Artinya Jika insan pers yang dapat menaati Undang-undang pers dengan baik dan benar, maka profesionalisme pers itu dapat terwujud. Hanya saja, pada faktanya, masih banyak oknum yang mengaku insan pers, namun abai terhadap perintah UU Pers dan segala aturan turunannya,” katanya.
Kondisi saat ini, kata Juniardi mentalitas profesional, sepertinya menjadi hambatan utama dalam mewujudkan profesionalitas pers. Padahal, suatu profesi dituntut untuk menunjukkan kualitas dan kompetensinya.
“Oleh karena itu, jika ingin menjadi profesi wartawan harus memiliki sikap profesionalitas dengan mematuhi UU Pers dan kode etik jurnalistik. Karena sesungguhnya, bukanlah pekerjaan yang menjadikan seseorang menjadi profesional, melainkan semangat dalam melakukan pekerjaan itu,” ujarnya.
Profesionalisme merupakan suatu sikap, tingkah laku, serta kemampuan untuk menunjukkan suatu kualitas dan kompetensi sebagai suatu profesi. “Dewan Pers misalnya, sebagai lembaga yang berwenang melakukan pendataan perusahaan pers dan wartawan, terlihat aktif menjalankan amanat UU Pers. Melakukan pendataan terhadap perusahaan pers, wartawan, organisasi perusahaan pers hingga organisasi wartawan. Meski masih banyak oknum insan pers menganggap itu bukan hal penting, padahal itu merupakan amanat UU Pers, sebagaimana termaktub didalam pasal 15 tentang fungsi Dewan Pers,” kata mantan Ketua Komisi Informasi (KIP) Lampung periode pertama ini.
Alumni Magister Hukum Unila ini menyatakan bahwa pendataan yang dilakukan Dewan Pers adalah salah satu upaya untuk mewujudkan profesionalisme Pers. Tertib administrasi, mematuhi segala kode etik dan pedoman pendirian perusahaan pers adalah point penting yang menjadi indikator penilaian dalam pendataan perusahaan pers. Termasuk kompetensi wartawan.
Kompetensi wartawan memiliki ukuran yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan. Ujian Kompetensi Wartawan (UKW) adalah jalan untuk menciptakan wartawan profesional. Setidaknya wartawan yang bertanggung jawab terhadap karya jurnalistiknya. Wartawan yang telah dinyatakan kompeten, setidaknya memahami dan mengamalkan kode etik jurnalistik.
Diantaranya, kode etik adalah Wartawan bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. Wartawan menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.
Penafsiran cara-cara yang profesional adalah, menunjukkan identitas diri kepada narasumber, menghormati hak privasi, tidak menyuap, menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya.
Pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara berimbang. Menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara.
Tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri, dan penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi bagi kepentingan publik.
Wartawan selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.
Wartawan tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul. Tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan. Tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.
Wartawan memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan off the record sesuai dengan kesepakatan.
Tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.
Menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.
Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa. Melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.
Kekinian, kata Juniardi, problem yang dihadapi Pers di era digitalisasi saat ini. Pertama problem profesionalisme teknis dan profesionalisme pragmatis. Profesionalisme teknis berkaitan dengan masalah kemampuan teknis para wartawan untuk menyelenggarakan jurnalisme yang profesional. Sementara pragmatis terkait kesejahteraan pers.
Di era digitalisasi saat ini News Gathering atau proses pengumpulan berita menjadi salah satu problem teknis wartawan. Karena dalam menulis berita, wartawan harus tetap mempertimbangkan dengan matang unsur kelengkapan berita.
Tapi kekinian banyak wartawan yang mengabaikan unsur kelengkapan berita itu. Datanya minim dan waktu yang terbatas, dikejar-kejar aktualitas berita, mengejar kecepatan sehingga mengabaikan kelengkapan berita, maka menjadi tidak profesional. (Red)