MEDIAPUBLIKA.com – Umumnya di dalam sebuah organisasi keputusan memilik kepemimpinan dan pengurus dapat diambil melalui tiga cara, mulai dari proses pemungutan suara. Apabila cara musyawarah tidak berhasil maka ditempuh cara pemungutan suara atau voting. Dalam voting pendapat yang memperoleh suara terbanyak menjadi keputusan bersama.
Kemudian ada cara aklamasi, yaitu pernyataan setuju secara lisan dari seluruh anggota kelompok. Pernyataan setuju dilakukan tanpa melalui pemungutan suara. Pernyataan setuju dilakukan untuk melahirkan keputusan bersama, dan atau bisa juga dengan penunjukkan langsung, yaitu pemilihan pengurus dapat dilakukan dengan cara ditunjuk langsung oleh para anggotanya.
Persatuan Wartawan Indonesia selanjutnya dikenal dengan nama PWI adalah organisasi profesi wartawan pertama di Indonesia. PWI berdiri pada 9 Februari 1946 di Surakarta bertepatan dengan Hari Pers Nasional. Saat ini PWI dipimpin oleh Atal Sembiring Depari selaku ketua umum yang menjabat sejak 2018 hingga 2023.
Jabatan Ketua PWI Lampung yang dua periode di Pimpin Supriadi Alfian akan segera berakhir medio 8 November 2021. Untuk mengantikan jabatan ketua dan pengurus 2011-2016 ke Periode berikutnya, makan akan digelar pemilihan, dalam Konferensi PWI Provinsi Lampung yang segera di gelar di tahun 2021.
Pemilihan ketua pada organisasi wartawan tertua itu menjadi seksi, dan banyak mencuri perhatian, tidak hanya publik tapi juga para pejabat, politisi hingga penguasa dan pengusaha.
Beberapa pengurus hingga senior di PWI Provinsi Lampung, mulai melakukan penjajakan untuk maju sebagai ketua. Mereka mulai mencari simpati, hingga gerilya, hingga hitungan hitungan matematika kartu anggota PWI lampung yang berkisar mencapai 500-an anggota, minus kartu yang habis masa berlakunya.
Dalam konstelasi pemilihan ketua PWI di Lampung 10 tahun terakhir, memang ada sebuah pola yang dilakukan kandidat dengan pola mandat.
Dan hal itu sepertinya tidak lagi bicara kualitas, senioritas, integritas, loyalitas hingga pantas tidak pantas, karena itu semua bisa digilas karena mandat itu bicara dengan pulus kertas.
Racun uang kertas, atau jika di Pilkada disebut money politik, itu juga bagian kecurangan yang dilakukan terstruktur, sistematik dan masif, karena berebut gengsi jabatan bukan lagi bicara kepentingan organisasi, entah apa orientasinya hehehe.
Bahkan ada kandidat yang mulai melakukan strategi mengumpulkan kartu-kartu anggota PWI yang aktif dan disodorkan tanda tangan untuk memberikan surat mandat, bahkan sampai pola menghambat para anggota yang mengurus perpanjangan kartu, jika tidak mau mendukung.
Jika mendukung maka bisa di percepat, dan kartu kemudian di sandra. Jika tidak mendukung maka akan dihambat hinga berbulan bulan, bahkan ada senior PWI yang bertahun-tahun tidak diperpanjang dengan berbagai alasan tentunya.
Ada kandidat yang juga mulai menghitung nilai satu kartu anggota dengan sejumlah pulus. Dengan hitungan dukungan minimal 50 plus satu dari total jumlah suara yang memiliki hak pilih.
Dan untuk itu mereka harus soan dengan para penguasa dan pengusaha sebagai penunjang (modal,Red). Mengapa harus mandat, karena itu cara jitu untuk memaksa dapat dukungan. Karena mereka yang menyerahkan mandat, tidak bisa lagi lari dai dukungan.
AD/ART memperbolehkan pola memberikan mandat itu jika memang kondisi benar benar berhalangan hadir (dalam arti halangan sakit musibah, dll).
Tapi jika berhalangan hadir dengan mandat dalam jumlah besar, apakah itu tidak menjadi unsur kesengajaan, menghambat dan merusak proses demokrasi, karena yang melakukan hal hal itu adalah upaya memaksakan kehendak, dan takut kalah dalam kompetisi.
Berpikir ideal, saya membayangkan saat pemilihan ketua kelas, atau saat pemilihan saya menjadi presiden mahasiswa dulu, tidak mengenal gaya-gaya Black Campaign, dan menggunakan Influencer Marketing, atau menggunakan kekuatan penguasa.
Tapi melakukan kerja kerja positif, bersaing program kerja, hingga kampanye sehat semua diberi panggung yang sama, karena audensi tidak diintervensi, seperti pemilihan Kades jaman dulu, yang masih gunakan intimidasi dan kekerasan untuk menjadi pemimpin.
Karena jika prosesnya saja tidak lagi demokrais, dan cara-cara culas maka tidak salah jika terkadang melahirkan pemimpin yang berorentasi kepada pulus, dengan metode menjual nama organisasi, dan melacurkan organisasi untuk kepentingan pribadi, padahal jelas ini dosa dan melanggar aturan organisasi, meski dilakukan tertutup.
Karena sebagai organisasi profesi yang besar itu dibutuhkan pemimpin yang profesional yang makna profesionalismenya memberikan jaminan perlindungan kepada kesejahteraan masyarakat umum (anggota organisasi,Red).
Kemudian profesionalisme pemimpin untuk memperbaiki kepemimpinan yang selama ini dianggap kurang bagus, dan memberikan perbaikan dan pengembangan diri yang memungkinkan pemimpin dapat memberikan pelayanan sebaik mungkin dan memaksimalkan kompetensi yang di milikinya.
Tidak sedikit keluhan hingga kekecewaan para anggota organisasi, yang kemudian memicu banyak anggotanya memilih berorganisasi di luar atau membentuk organisasi sendiri. Karena umumnya mereka kecewa dengan orientasinya pemimpin yang berorientasi kepentingan pribadi dan kelompok, tidak menjaga dan menyelamatkan anggota dalam satu profesi.
Seperti dalam PD-PRT, KEJ, Dan Kode Perilaku Wartawan PWI, pasal 3 menyebutkan bahwa tujuan PWI adalah:
Tercapainya cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana diamanatkan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945; Terlaksananya kehidupan demokrasi, berbangsa dan bernegara serta kemerdekaan menyatakan pendapat dan berserikat; Terwujudnya kemerdekaan Pers Nasional yang profesional, bermartabat, dan beradab; Terpenuhinya hak publik memperoleh informasi yang tepat, akurat, dan benar; dan Terwujudnya tugas pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan publik.
Seperti kata para pendiri PWI yang berharap ada jaminan kemerdekaan pers yang independen dan berkerja efektif, sehingga dapat melahirkan “media watch” yang independen. Untuk itu saya nyalon ketua PWI. Salam.
Penulis: Juniardi