MEDIAPUBLIKA.com – Untuk kesekian kalinya, bakal calon ketua PWI Lampung Juniardi di ajak diskusi soal pentingnya keselamatan dan perlindungan wartawan di Lampung dalam menjalankan tugas jurnalistik di lapangan yang rentan dengan tidak kerasan dan ancaman jeratan hukum dalam menghasilkan karya jurnalistik, dan pemberitaan untuk media massa.
“Tetapi sepanjang itu karya jurnalistik, pemberitaan di media masa tidak bisa serta merta dipidanakan. Karena itu, wartawan juga membutuhkan security diri atau menjaga keamanan diri wartawan, ketika sedang menjalani tugas jurnalistik. Karena memang banyak yang rentan mengalami kekerasan baik fisik maupun verbal,” kata Bang Juniardi saat diundang mengisi podcast ZonaLampung TV, dipandu Indra Alamsyah, di Lampung Tengah, Sabtu (11/9/2021) malam.
Wakil Ketua Bidang Pembelaan Wartawan PWi Lampung itu mengatakan, ditengah maraknya penerbitan media masa, terutama media siber arau online saat ini, dan tidak diimbangi dengan profesionalitas kerja kerja wartawan, tentunya berdampak pada banyak persoalan, termasuk kekerasan terhadap wartawan.
Belum lagi karya karya wartawan terkait berita kasus korupsi, narkoba, atau kritik kritik terhadap penguasa, berita berita kritik apalagi berita berita sepihak, misalnya menyudutkan narasumber, tanpa konfirmasi.
“Untuk menjaga itu perlunya pemahaman wartawan dalam mempedomani aturan dalam menjalani profesi jurnalistik, misalnya UU Pers, tentang kode etik, aturan dewan pers dan aturan UU yang lainnya. Termasuk memberikan pemahaman kepada narasumber tentang pers,” ujar bang Jun.
Juniardi menjelaskan, selain itu Dewan Pers dan Polri telah melakukan nota kesepahaman terkait laporan atas pemberitaan media. “Nota kesepahaman itu dimaksudkan agar implementasi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dapat berjalan dengan baik. Bila ada aduan soal pemberitaan, maka masuknya ke Dewan Pers. Untuk itu Polri sudah konsisten dalam menerapkan kesepahaman terkait sengketa pemberitaan,” kata Juniardi.
Mantan Ketua Komisi Infomasi Publik ini menyatakan, jika dalam pemberitaan yang disampaikan sesuai dengan kaidah jurnalistik sebagaimana diatur dalam UU Pers. Dalam pasal 4 UU Pers disebutkan bahwa untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
“Apabila telah sesuai kode etik, tapi masih ada proses delik pidana, maka ada indikasi pelemahan kebebasan pers,” katanya.
Juniardi menjelaskan, masih adanya kasus pemberitaan yang dilaporkan ke polisi adalah bentuk ancaman serius untuk kebebasan pers. Soal pemberitaan yang salah, dalam Pasal 10 Peraturan Dewan Pers Nomor: 6/Peraturan-DP/V/2008 tentang Pengesahan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik sebagai Peraturan Dewan Pers (“Kode Etik Jurnalistik”) menyatakan bahwa Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.
Di dalam dunia pers dikenal 2 (dua) istilah yakni: hak jawab dan hak koreksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (“UU Pers”).
Hak Jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.
Hak Koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberikan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.
Hak jawab dan hak koreksi merupakan suatu langkah yang dapat diambil oleh pembaca karya Pers Nasional apabila terjadi kekeliruan pemberitaan, utamanya yang menimbulkan kerugian bagi pihak tertentu.
Upaya yang dapat ditempuh akibat pemberitaan Pers yang merugikan adalah sebagai pihak yang dirugikan secara langsung atas pemberitaan wartawan memiliki Hak Jawab untuk memberikan klarifikasi atas pemberitaan tersebut. Langkah berikutnya adalah membuat pengaduan di Dewan Pers.
“Dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional, dibentuk Dewan Pers yang independen. Dewan Pers Indonesia mendefinisikan pengaduan sebagai kegiatan seseorang, sekelompok orang atau lembaga/instansi yang menyampaikan keberatan atas karya dan atau kegiatan jurnalistik kepada Dewan Pers,” kata dia.
Pimpinan online Sinarlampung.co ini juga memaparkan, salah satu fungsi Dewan Pers yaitu memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers. Apabila Hak Jawab dan Pengaduan ke Dewan Pers tidak juga membuahkan hasil, maka UU Pers juga mengatur ketentuan pidana dalam Pasal 5 jo. Pasal 18 ayat (2)UU Pers.
“Dimana dalam Pasal 5 UU Pers menyebutkan Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah. Pers wajib melayani Hak Jawab. Pers wajib melayani Hak Koreksi. Kemudian Pasal 18 ayat (2) UU Pers Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 13 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah),” katanya. (**).