Juniardi: Wartawan Indonesia Harus Menempuh Cara-cara yang Profe­sional Dalam Melaksanakan Tugas Jurnalistik 

BANDAR LAMPUNG16 Dilihat

MEDIAPUBLIKA.com – UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers, menyebutkan bahwa Pers adalah lembaga sosial dan wahana komu­nikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik yang meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan me­nyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lain­nya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan se­gala jenis saluran yang tersedia.

Sementara fungsi pers (pasal 3 UU Pers,) lanjut Bang Jun, sapaan akrabnya, bahwa setidak ada lima yaitu pers sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, kontrol sosial, dan sebagai lembaga ekonomi.

“Sebagai Media Informasi, ialah pers itu memberi dan me­nyediakan informasi tentang peristiwa yang terjadi kepada ma­syarakat, dan masyarakat membeli surat kabar karena memerlukan informasi,” kata Juniardi, saat memberikan materi dalam kegiatan pelatihan jurnalistik untuk kepala kampung, di tulang bawang, Senin (20/9/2021).

Keberadaan UU Pers, kata Juniardi, adalah untuk melindungi dan mengendalikan kemerdekaan pers Pengendalian kebebasan pers yaitu masih ada pihak-pihak yang ti­dak suka dengan adanya kebebasan pers, sehingga mereka ingin menia­dakan kebebasan pers.

“Kemudian ada penyalahgunaan kebebasan pers yaitu insan pers memamfaat­kan kebebasan yang dimilikinya un­tuk melakukan kegiatan Jurnalistik yang bertentangan dengan fungsi dan peranan yang diembannya. Oleh karena itu tantangan terberat bagi wartawan adalah kebebasan pers itu sendiri,” katanya.

Sebagai fungsi pendidikan, pers itu juga sebagai sarana pendidi­kan massa (mass Education), pers memuat tulisan-tulisan yang men­gandung pengetahuan sehingga masyarakat bertambah pengeta­huan dan wawasannya.

“Sebagai fungsi menghibur, pers juga memuat hal-hal yang bersifat hiburan untuk mengim­bangi berita berita berat (hard news) dan artikel-artikel yang ber­bobot. Berbentuk cerita pendek, cerita bersambung, cerita bergam­bar, teka-teki silang, pojok, dan karikatur, misalnya,” ujar wakil ketua bidang pembelaan wartawan PWI Lampung itu.

Sebagai, fungsi kontrol sosial, lanjut mantan ketua komisi informasi Provinsi Lampung, ter­kandung makna demokratis yang didalamnya terdapat unsur-un­sur sebagai social par­ticiption yaitu keikutsertaan rakyat dalam pemerintahan.

“Sosial responsibility yaitu pertanggung­jawaban pemerintah terhadap rakyat. Sosial support yaitu du­kungan rakyat terhadap pemerin­tah. Dan sosial control yaitu kontrol masyarakat terhadap tindakan-tindakan pemerintah,” kata dia.

Dan sebagai lembaga ekonomi, yaitu pers adalah suatu perusa­haan yang bergerak di bidang pers dapat memanfaatkan keadaan disekitarnya sebagai nilai jual sehingga pers sebagai lembaga so­sial dapat memperoleh keuntungan maksimal dari hasil produksinya untuk kelangsungan hidup lembaga pers itu sendiri.

Nah, peranan pers dalam UU Pers disebutkan adalah untuk memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui. Kemudian menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, hak asasi manusia, serta menghormati kebhinekaan.

“Dengan mengembangkan pendapat umum berdasarkan infor­masi yang tepat, akurat dan benar. Melakukan pengawasan, kritik, koreksi dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum, dan Memperjuangkan keadi­lan dan kebenaran,” ucapnya.

Terkait kerja wartawan, Juniardi menegaskan bahwa untuk kerja kerja wartawan, di atur dalam Kode etik wartawan, yang juga ada dalam UU Pers terdapat 11 pasal Kode Etik wartawan Indonesia. Misalnya, lanjut Juniardi, wartawan Indonesia harus menempuh cara-cara yang profe­sional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.

Cara-cara yang profesional adalah menunjukkan identitas diri kepada narasumber, menghormati hak privasi, tidak menyuap, menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumber­nya.

“Hal itu diatur dalam UU Pers nomor 40/99, terutama kode etik di pasal 2. Termasuk rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi dengan ket­erangan tentang sumber dan dit­ampilkan secara berimbang,” kata Juniardi,

Wartawan juga harus menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam pe­nyajian gambar, foto, suara. Tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil lipu­tan wartawan lain sebagai karya sendiri.

“Penggunaan cara-cara ter­tentu dapat dipertimbangkan un­tuk peliputan berita investigasi Bagi kepentingan publik,” kata Wakil Ketua Bidang Pembelaan Wartawan PWI Lampung.

Wartawan Indonesia, kata Juniardi harus selalu menguji informasi, mem­beritakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta mener­apkan asas praduga tak bersalah.

“Menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi itu. Berimbang adalah mem­berikan ruang atau waktu pem­beritaan kepada masing-masing pihak secara proporsional. Opini yang mengha­kimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda den­gan opini interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas fakta. Asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang,” katanya.

Wartawan lanjut Juniardi, tidak membuat berita bohong, fit­nah, sadis, dan cabul. “Bohong berarti sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai hal yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi. Fitnah berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat buruk. Sadis berarti kejam dan tidak mengenal belas kasihan,” ujarnya.

Untuk berita tidak boleh cabul, artinya penggambaran tingkah laku secara erotis den­gan foto, gambar, suara, grafis atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi. “Dalam penyiaran gambar dan suara dari arsip, wartawan mencantumkan waktu pen­gambilan gambar dan suara,” tambahnya.

Juniardi merinci Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiar­kan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan. “Identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak. Anak adalah seorang yang berusia kurang dari 16 tahun dan belum menikah,” urainya.

Wartawan Indonesia ti­dak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap. Yang dimaksud menyalahgunakan profesi adalah segala tindakan yang men­gambil keuntungan pribadi atas informasi yang diperoleh saat ber­tugas sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan umum. Suap adalah segala pembe­rian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari pihak lain Yang mempengaruhi independensi.

Wartawan juga memiliki hak tolak untuk melind­ungi narasumber yang tidak ber­sedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ke­tentuan embargo, informasi latar belakang, dan off the record ses­uai dengan kesepakatan. Penaf­siran.

Hak tolak adalah hak untuk tidak mengungkapkan identi­tas dan keberadaan narasumber Demi keamanan narasumber dan keluarganya. Embargo adalah penundaan pemuatan atau penyiaran berita sesuai dengan permintaan nara­sumber.

Informasi latar belakang adalah segala informasi atau data dari narasumber yang disiarkan atau diberitakan tanpa menyebut­kan narasumbernya. Off the record adalah se­gala informasi atau data dari nara­sumber yang tidak boleh disiarkan atau diberitakan.

Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kela­min, dan bahasa serta tidak mer­endahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.

“Prasangka adalah anggapan yang kurang baik mengenai ses­uatu sebelum mengetahui secara jelas. Diskriminasi adalah pem­bedaan perlakuan,” jelasnya.

Lalu, wartawan harus menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik. Menghormati hak narasum­ber adalah sikap menahan diri dan berhati-hati. Kehidupan pribadi adalah segala segi kehidupan seseorang dan keluarganya selain yang ter­kait dengan kepentingan publik.

Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pemba­ca, pendengar, dan atau pemirsa.

“Segera berarti tindakan dalam waktu secepat mungkin, baik karena ada maupun tidak ada teguran dari pihak luar. Permintaan maaf disampai­kan apabila kesalahan terkait den­gan substansi pokok,” katanya.

Pasal 11, kode etik menyebutkan bahwa wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak kore­ksi secara proporsional.

Hak jawab adalah hak se­seorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pem­beritaan berupa fakta yang meru­gikan nama baiknya.

Hak koreksi adalah hak se­tiap orang untuk membetulkan kekeliruan informasi yang di­beritakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.

“Proporsional berarti setara dengan bagian berita yang perlu diperbaiki. Penilaian akhir atas pelangga­ran kode etik jurnalistik dilakukan Dewan Pers. Dan sanksi atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan oleh or­ganisasi wartawan dan atau peru­sahaan pers. (Rls/Red).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *