MEDIAPUBLIKA.com – UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers, menyebutkan bahwa Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik yang meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
Sementara fungsi pers (pasal 3 UU Pers,) lanjut Bang Jun, sapaan akrabnya, bahwa setidak ada lima yaitu pers sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, kontrol sosial, dan sebagai lembaga ekonomi.
“Sebagai Media Informasi, ialah pers itu memberi dan menyediakan informasi tentang peristiwa yang terjadi kepada masyarakat, dan masyarakat membeli surat kabar karena memerlukan informasi,” kata Juniardi, saat memberikan materi dalam kegiatan pelatihan jurnalistik untuk kepala kampung, di tulang bawang, Senin (20/9/2021).
Keberadaan UU Pers, kata Juniardi, adalah untuk melindungi dan mengendalikan kemerdekaan pers Pengendalian kebebasan pers yaitu masih ada pihak-pihak yang tidak suka dengan adanya kebebasan pers, sehingga mereka ingin meniadakan kebebasan pers.
“Kemudian ada penyalahgunaan kebebasan pers yaitu insan pers memamfaatkan kebebasan yang dimilikinya untuk melakukan kegiatan Jurnalistik yang bertentangan dengan fungsi dan peranan yang diembannya. Oleh karena itu tantangan terberat bagi wartawan adalah kebebasan pers itu sendiri,” katanya.
Sebagai fungsi pendidikan, pers itu juga sebagai sarana pendidikan massa (mass Education), pers memuat tulisan-tulisan yang mengandung pengetahuan sehingga masyarakat bertambah pengetahuan dan wawasannya.
“Sebagai fungsi menghibur, pers juga memuat hal-hal yang bersifat hiburan untuk mengimbangi berita berita berat (hard news) dan artikel-artikel yang berbobot. Berbentuk cerita pendek, cerita bersambung, cerita bergambar, teka-teki silang, pojok, dan karikatur, misalnya,” ujar wakil ketua bidang pembelaan wartawan PWI Lampung itu.
Sebagai, fungsi kontrol sosial, lanjut mantan ketua komisi informasi Provinsi Lampung, terkandung makna demokratis yang didalamnya terdapat unsur-unsur sebagai social particiption yaitu keikutsertaan rakyat dalam pemerintahan.
“Sosial responsibility yaitu pertanggungjawaban pemerintah terhadap rakyat. Sosial support yaitu dukungan rakyat terhadap pemerintah. Dan sosial control yaitu kontrol masyarakat terhadap tindakan-tindakan pemerintah,” kata dia.
Dan sebagai lembaga ekonomi, yaitu pers adalah suatu perusahaan yang bergerak di bidang pers dapat memanfaatkan keadaan disekitarnya sebagai nilai jual sehingga pers sebagai lembaga sosial dapat memperoleh keuntungan maksimal dari hasil produksinya untuk kelangsungan hidup lembaga pers itu sendiri.
Nah, peranan pers dalam UU Pers disebutkan adalah untuk memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui. Kemudian menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, hak asasi manusia, serta menghormati kebhinekaan.
“Dengan mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar. Melakukan pengawasan, kritik, koreksi dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum, dan Memperjuangkan keadilan dan kebenaran,” ucapnya.
Terkait kerja wartawan, Juniardi menegaskan bahwa untuk kerja kerja wartawan, di atur dalam Kode etik wartawan, yang juga ada dalam UU Pers terdapat 11 pasal Kode Etik wartawan Indonesia. Misalnya, lanjut Juniardi, wartawan Indonesia harus menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.
Cara-cara yang profesional adalah menunjukkan identitas diri kepada narasumber, menghormati hak privasi, tidak menyuap, menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya.
“Hal itu diatur dalam UU Pers nomor 40/99, terutama kode etik di pasal 2. Termasuk rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara berimbang,” kata Juniardi,
Wartawan juga harus menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara. Tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri.
“Penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi Bagi kepentingan publik,” kata Wakil Ketua Bidang Pembelaan Wartawan PWI Lampung.
Wartawan Indonesia, kata Juniardi harus selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.
“Menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi itu. Berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara proporsional. Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan opini interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas fakta. Asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang,” katanya.
Wartawan lanjut Juniardi, tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul. “Bohong berarti sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai hal yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi. Fitnah berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat buruk. Sadis berarti kejam dan tidak mengenal belas kasihan,” ujarnya.
Untuk berita tidak boleh cabul, artinya penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara, grafis atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi. “Dalam penyiaran gambar dan suara dari arsip, wartawan mencantumkan waktu pengambilan gambar dan suara,” tambahnya.
Juniardi merinci Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan. “Identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak. Anak adalah seorang yang berusia kurang dari 16 tahun dan belum menikah,” urainya.
Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap. Yang dimaksud menyalahgunakan profesi adalah segala tindakan yang mengambil keuntungan pribadi atas informasi yang diperoleh saat bertugas sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan umum. Suap adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari pihak lain Yang mempengaruhi independensi.
Wartawan juga memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan off the record sesuai dengan kesepakatan. Penafsiran.
Hak tolak adalah hak untuk tidak mengungkapkan identitas dan keberadaan narasumber Demi keamanan narasumber dan keluarganya. Embargo adalah penundaan pemuatan atau penyiaran berita sesuai dengan permintaan narasumber.
Informasi latar belakang adalah segala informasi atau data dari narasumber yang disiarkan atau diberitakan tanpa menyebutkan narasumbernya. Off the record adalah segala informasi atau data dari narasumber yang tidak boleh disiarkan atau diberitakan.
Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.
“Prasangka adalah anggapan yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui secara jelas. Diskriminasi adalah pembedaan perlakuan,” jelasnya.
Lalu, wartawan harus menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik. Menghormati hak narasumber adalah sikap menahan diri dan berhati-hati. Kehidupan pribadi adalah segala segi kehidupan seseorang dan keluarganya selain yang terkait dengan kepentingan publik.
Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.
“Segera berarti tindakan dalam waktu secepat mungkin, baik karena ada maupun tidak ada teguran dari pihak luar. Permintaan maaf disampaikan apabila kesalahan terkait dengan substansi pokok,” katanya.
Pasal 11, kode etik menyebutkan bahwa wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.
Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.
Hak koreksi adalah hak setiap orang untuk membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.
“Proporsional berarti setara dengan bagian berita yang perlu diperbaiki. Penilaian akhir atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan Dewan Pers. Dan sanksi atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan oleh organisasi wartawan dan atau perusahaan pers. (Rls/Red).