MEDIAPUBLIKA.com – Koalisi Kebebasan Pers Lampung menggelar aksi menolak revisi Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran atau RUU Penyiaran, di Tugu Adipura, Bandar Lampung, Minggu, 19 Mei 2024.
Koordinator Aksi Andry Kurniawan mengatakan, sejumlah pasal tertanggal 27 Maret 2024 tersebut berpotensi mengancam kemerdekaan pers, ekspresi, dan kreativitas di ruang digital.
“Sebab, beberapa pasal dalam draf RUU Penyiaran secara spesifik melarang beberapa jenis konten dan produk jurnalistik serta bertentangan dengan UU Pers 40/1999,” ujar Andry.
Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Lampung Hendri Setiadi mengatakan, perlu adanya pengkajian lagi terhadap revisi undang – undang penyiaran, yang mana banyak merugikan profesi wartawan.
“Kami menolak revisi undang-undang penyiaran, sebab banyak merugikan profesi wartawan. Oleh sebab itu, pihak legislatif bisa mempertimbangkan kembali terkait RUU penyiaran tersebut,” Harap Hendri.
Berikut adalah pasal-pasal bermasalah dalam draf RUU Penyiaran:
1. Pasal 8A huruf (q)
Dalam Pasal ini disebutkan bahwa KPI berwenang menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang penyiaran, yang tumpang tindih dengan UU Pers yang menyebut bahwa sengketa pers seharusnya diselesaikan oleh Dewan Pers.
2. Pasal 42 ayat 2
Mirip dengan Pasal 8A huruf q, pasal ini juga menyebut bahwa sengketa jurnalistik diurusi oleh KPI, yang seharusnya berdasarkan UU Pers, diselesaikan oleh Dewan Pers.
3. Pasal 50B ayat 2 huruf (c)
Pasal ini spesifik melarang penayangan eksklusif liputan investigasi, bertentangan dengan UU No 40 Tahun 1999 Tentang Pers yang menyatakan pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, dan pelarangan penyiaran.
4. Pasal 50B ayat 2 huruf (k)
Pasal ini dinilai “karet” karena melarang konten siaran yang mengandung penghinaan dan pencemaran nama baik, sementara Mahkamah Konstitusi RI telah membatalkan pasal berita bohong yang menimbulkan keonaran dan pencemaran nama baik dalam beberapa peraturan.
5. Pasal 51 huruf E
Pasal ini mengatur bahwa penyelesaian sengketa jurnalistik dilakukan di pengadilan, tumpang tindih dengan UU Pers.
6. Penghapusan Pasal 18 dan 20 dari UU Penyiaran No 32/2002
Penghapusan pasal ini berpotensi melanggengkan kartel atau monopoli kepemilikan lembaga penyiaran, menghilangkan batasan kepemilikan TV dan radio yang dapat memperkuat penguasaan oleh konglomerasi tertentu.
Berdasarkan persoalan tersebut, Koalisi Kebebasan Pers Lampung menyatakan sikap:
- Menolak dan meminta agar sejumlah pasal dalam draf revisi RUU Penyiaran yang mengancam kemerdekaan pers dihapus.
-
Mendesak Presiden dan DPR meninjau ulang urgensi revisi UU Penyiaran dengan melibatkan semua pihak seperti Dewan Pers, organisasi jurnalis, dan kelompok masyarakat sipil dengan prinsip partisipasi bermakna.
-
Mengajak semua pihak untuk mengawal revisi RUU Penyiaran agar tidak menjadi alat untuk membungkam kemerdekaan pers serta kreativitas individu di berbagai platform.
Koalisi Kebebasan Pers Lampung terdiri dari Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandarlampung, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Pengurus Daerah Lampung, Pewarta Foto Indonesia (PFI) Lampung, dan LBH Pers Lampung. (Red).