Minta Rekaman di Hapus, Juniardi: Gubernur Lampung Telah Menghambat dan Menghalangi Kerja Jurnalistik

BERITA35 Dilihat

MEDIAPUBLIKA.com – Mantan Ketua Komisi Informasi Lampung Juniardi, SIP S.H., M.H. menyayangkan aksi Gubernur Lampung Arinal Djunaidi yang melarang wartawan Kompas TV merekam, dan memerintahkan menghapus rekaman Gubernur Lampung, saat memberikan sambutan pada acara pembekalan panitia Haji.

“Apalagi ucapan itu disampaikan orang nomor satu di Lampung (penguasa,red) dan diungkapkan dimuka umum dihadapan peserta ASN dan pejabat di lingkungan Pemprov Lampung. Ini bisa mengarah kepada sikap menghalang halangi, dan kekerasan verbal kepada wartawan,” kata Pimred sinarlampung.co, saat dimintai tanggapan soal aksi Gubernur kepada wartawan Kompas TV, di Bandar Lampung itu, Selasa (16/5/23).

Padahal, lanjut Juniardi, pada acara tersebut Arinal Djunaidi memberikan sambutan sebagai Gubernur Lampung, notabene pejabat publik, dan mengemban amanah publik, dan dalam kegiatan badan publik.

“Sementara wartawan Kompas TV melaksanakan tugas wartawan dan melakukan kerja kerja jurnalistik. Artinya Wartawan yang melaksanakan tugas jurnalistiknya sesuai dengan UU No.40/1999 tentang Pers dilindungi Haknya,” ujar Alumni Magister Hukum Unila ini.

Juniardi menjelaskan kegiatan tersebut adalah kegiatan pemerintahan yang justru untuk kepentingan publik, yang juga diatur dalam UU KIP No 14/2008, wajib disampaikan kepada publik (pasal 9, 10, 11).

“Kita ketahui bersama bahwa perubahan mendasar dalam amandemen UUD 1945 diantaranya adalah setiap orang berhak memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadinya dan lingkungan sosialnya,” jelasnya.

“Setiap orang juga berhak mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia sebagaimana yang tercantum dalam amandemen UUD 1945 pasal 28 F,” lanjutnya.

Menurut Juniardi, dilengkapi dengan paradigma keterbukaan informasi yang mewajibkan keterbukaan informasi publik pada badan publik diatur dalam UU Nomor 14 Tahun 2018 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Badan publik, menurut UU tersebut adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN dan/atau APBD, atau organisasi nonpemerintah yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran tersebut.

“Artinya ada kesan Gubernur Lampung itu telah menghambat dan menghalangi kerja jurnalistik. Orang yang menghambat dan menghalangi kerja Wartawan dapat dipidana sebagaimana pasal 18 ayat (1) UU Pers Nomor 40 tahun 1999, Yang menyebutkan, bahwa setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta,” tegasnya.

Mantan Wakil Ketua Bidang Pembelaan Wartawan ini mengurai bahwa Wartawan dalam melakukan tugas Jurnalistik menurut Pasal 1 angka 4 UU Pers adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik.

Dalam melaksanakan kegiatan jurnalistik tersebut, terdapat perbedaan antara wartawan dan masyarakat sipil dimana secara khusus wartawan bernaung dalam pers atau perusahaan pers.

Ketika menjalankan profesinya, wartawan harus menaati kode etik jurnalistik. Pasal 1 Kode Etik Jurnalistik wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beriktikad buruk.

Dalam menjalankan tugas jurnalistiknya, wartawan Indonesia harus menempuh cara-cara yang profesional.

Cara-cara yang profesional tersebut adalah menunjukkan identitas diri kepada narasumber; menghormati hak privasi; tidak menyuap; menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya;

Kemudian rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara berimbang;

menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara; tidak melakukan plagiat, termasuk hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri; penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi bagi kepentingan publik.

Selain cara-cara profesional dalam menjalankan tugas jurnalistik dalam konteks merekam atau dokumentasi yang dilakukan oleh wartawan juga harus tunduk pada Kode Etik Jurnalistik lain yaitu:

tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan;

mempunyai hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan off the record sesuai dengan kesepakatan;

Termasuk menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya kecuali untuk kepentingan publik.

“Larangan wartawan merekam tanpa izin itu dilarang ketika hal tersebut berkaitan dengan pribadi narasumber. Misalnya kehidupan pribadi narasumber, hal-hal yang disepakati untuk off the record, dan lain-lain. Atau wartawan merekam orang lagi mandi tanpa izin,” katanya

Dan tidak ada ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur secara tegas dan eksplisit mengenai larangan mengambil gambar, merekam video, merekam suara di dalam kantor pemerintahan dan fasilitas umum, sepanjang hal itu dilakukan untuk tugas jurnalistik dengan cara-cara profesional dan bertujuan memberikan informasi yang berimbang.

Dan apabila terdapat pihak-pihak yang merasa dirugikan atas informasi atau dokumentasi yang dimuat dalam produk jurnalistik yang dibuat oleh wartawan, maka pada dasarnya masyarakat dapat menggunakan pelayanan hak jawab dan hak koreksi.

Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang yang memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.

Sementara, hak koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberikan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.

Implementasi pelaksanaan hak jawab tersebut dapat dilihat dalam Pasal 10 Kode Etik Jurnalistik, yang menyatakan bahwa wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.

Selain itu, pelaksanaan hak jawab dan hak koreksi dapat dilakukan juga oleh Dewan Pers karena salah satu fungsi Dewan Pers adalah memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.

Lalu tanggapan dari pers atas hak jawab dan hak koreksi berupa kewajiban koreksi yaitu keharusan melakukan koreksi atau ralat terhadap suatu informasi, data, fakta, opini, atau gambar yang tidak benar yang telah diberitakan oleh pers yang bersangkutan.

Kewajiban koreksi ini juga merupakan bentuk tanggung jawab pers atas berita yang dimuatnya.

Kemudian dalam Kode Etik Jurnalistik juga disebutkan bahwa penilaian akhir atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan oleh Dewan Pers. Sanksi atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan oleh organisasi wartawan dan/atau perusahaan pers.

Apabila perusahaan pers tidak melayani hak jawab ataupun hak koreksi, maka dipidana denda maksimal Rp500 juta. (*).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *