MEDIAPUBLIKA.com – Meskipun Kementerian Pertanian (Kementan) telah menetapkan harga singkong, Panitia Khusus (Pansus) Tata Niaga Singkong DPRD Provinsi Lampung tetap melanjutkan tugasnya hingga tuntas. Hal ini disampaikan oleh Anggota Pansus, Ahmad Basuki.
“Pansus tetap lanjut karena sudah dibentuk dan terus bekerja sampai selesai. Insyaallah, pada 7 Maret nanti hasilnya akan diparipurnakan,” ujar Ahmad Basuki saat dimintai tanggapan, Jumat (31/01/25).
Menurutnya, keputusan bersama Kementan menjadi rujukan dan yurisprudensi harga minimal, terutama dalam kondisi darurat seperti saat ini. Pansus dibentuk untuk menciptakan harga yang berkeadilan bagi petani dan pengusaha tapioka.
“Petani singkong dan perusahaan tapioka adalah satu kesatuan ekosistem yang saling berdampingan dan membutuhkan. Tidak boleh ada satu pihak yang dirugikan atau tersakiti,” tegas Abas, sapaan akrab Ahmad Basuki.
Abas, yang juga merupakan Ketua Komisi II DPRD Provinsi Lampung menyoroti bahwa kondisi harga yang jatuh serta potongan refaksi yang besar selama ini telah melukai rasa keadilan petani. Karena itu, keputusan yang telah diambil Kementan harus dihormati dan dijalankan oleh semua pihak.
“Apa yang diputuskan Menteri Pertanian hari ini harus kita apresiasi setinggi-tingginya sebagai bentuk kehadiran negara untuk rakyatnya. Pak Menteri ini bukan hanya bapaknya petani singkong, tapi juga bapaknya pengusaha tapioka. Maka, keputusan ini harus diamankan bersama dan diawasi implementasinya di lapangan,” ucapnya.
Diberitakan sebelumnya, Kementerian Pertanian (Kementan) menetapkan harga ubi kayu dalam rapat koordinasi dengan industri tapioka, pada 31 Januari 2025 di Jakarta. Dalam kesepakatan tersebut, menetapkan harga singkong sebesar Rp1.350 per kilogram dengan refaksi maksimal 15 persen.
Selain menetapkan harga, Kementan juga mengatur tata niaga tepung tapioka dan tepung jagung sebagai komoditas lartas (dilarang dan dibatasi).
Kebijakan ini bertujuan untuk memastikan kebutuhan bahan baku dalam negeri terpenuhi sebelum dilakukan impor.
Impor hanya diperbolehkan jika bahan baku dalam negeri tidak mencukupi atau telah habis diserap seluruhnya oleh industri. (*).