Penulis:
H. Drs. Gufron Azis Fuadi
Dijaman Orde Baru, dai sejuta umat KH. Zainudin MZ sering melontarkan ungkapan, saat pembangunan belum berjalan lancar kita sering menemukan banyak lubang dijalan, sekarang sebaliknya justru banyak lubang yang berjalan. Saat ungkapan ini dilontarkan, tidak ada pejabat yang marah atau pengacara yang mensomasi. Mereka justru tertawa bersama, mungkin mereka merasa terpuji bahwa pembangunan infrastruktur berjalan lancar. Adapun lubang berjalan seolah bukan urusan mereka.
Ruas jalan yang baik adalah dambaan setiap masyarakat. Karena dengan ruas jalan yang baik, banyak aktivitas masyarakat yang bisa dilakukan dengan lancar. Teman saya, Jamil Azzaini saat pulang kampung ke Tanjung Bintan Lampung Selatan pernah berujar, apa ya perasaan para pejabat yang fotonya terpampang besar besaran di atas jalan yang penuh kubangan? Apa mereka nggak merasa malu ya? Waktu itu saya jawab, mungkin nggak malu, karena fotonya pada tersenyum gitu kok…
Membangun jalan dan memeliharanya agar tetap baik adalah tugas pemerintah. Pemerintah diberi kewenangan untuk menarik pajak dan pendapatan lainnya diantaranya digunakan untuk membuat rakyat bisa hidup nyaman dan sejahtera. Sehingga bila rakyat merasa pemerintah tidak melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik, rakyat punya hak untuk protes. Tetapi agar situasinya tidak terlalu kemrungsung, protes dan mengawasi perilaku pemerintah diserahkan kepada wakil rakyat. Tetapi bila wakil rakyat bersekongkol dan tidak melakukan tugasnya, ya akhirnya masyarakat melakukan protes langsung.
Dulu sebelum adanya DPR/D bila rakyat ingin menyampaikan protes, mereka melakukan topo pepe. Topo Pepe adalah sebuah bentuk protes atau penyampaian aspirasi warga kepada Keraton (Yogyakarta). Topo Pepe biasanya dilakukan di Alun-alun Utara dengan cara duduk bertapa di tengah terik matahari hingga ada panggilan dari Sultan yang bertahta untuk masuk ke area Keraton dan menyampaikan uneg-unegnya atau aspirasinya. Ini mungkin karena masyarakat Jawa penuh dengan unggah ungguh. Sehingga protes tidak dilakukan secara langsung dan terang terangan.
Berbeda dengan Umar bin Khattab, yang biasa secara santai menanggapi protes warganya secara langsung dan terang terangan. Bahkan Umar melarang orang yang melarang warganya untuk melakukan protes. Karena beliau berpikir bahwa orang yang diberi amanah untuk mengurus orang banyak, harus siap untuk diprotes oleh warganya, bila warganya merasa tidak nyaman. Karena itu bagian dari tanggung jawabnya.
Ketika menjabat sebagai khalifah, Umar bin Khattab RA suatu kali pernah bertutur, “Seandainya ada seekor keledai terperosok di kota Baghdad, karena jalan yang jelek, niscaya aku (Umar) akan dimintai pertanggung jawabannya dan ditanya (oleh Allah), ‘Mengapa engkau tidak meratakan jalan untuknya?’.”
Umar bin Khattab menjadi khalifah selama sepuluh tahun, yaitu pada tahun 634-644 M. Umar adalah seorang khalifah yang dikenal sangat tegas, berintegritas tinggi, hidup secara sederhana dan tidak plonga plongo.
Dalam kitab Fiqhul Islamy Wa Adillatuhu karya Prof. Wahbah Zuhaily, disebutkan, beliau dikritik oleh seorang pemuda, “Seorang laki-laki berkata pada Umar ra.: “Bertaqwalah! Wahai Umar. “Lalu pemuda lain menyahut: “Layakkah ungkapan itu ditujukan pada seorang Amirul Mukminin (Pemerintah)?. Dengan bijak Umar menjawab: “Tidak ada kebaikan pada diri kalian apabila kalian tidak mengatakannya (kalimat taqwa) dan tidak pula ada kebaikan dalam diriku apabila aku tidak mau mendengarnya (dari kalian).
Melihat penggalan kisah Umar bin Khattab ra. di atas, pejabat pemerintah hendaknya berlapang dada mendengarkan kritik rakyat. Pemerintah jangan hanya mau didengar, tapi juga harus mau mendengar. Pemerintah jangan hanya mau dijadikan cerminan bagi rakyatnya tetapi juga harus memberikan teladan yang baik.
Ketika mendapatkan kritik rakyat, pemerintah harus ikhlas dan sabar bukan malah tersinggung lalu marah-marah, apalagi mengancam rakyatnya dan melakukan somasi. Perlu diingat bahwa rakyat itu lemah. Tidak memiliki kekuatan seperti pemerintah.
Namun juga harus menjadi catatan bahwa kritik rakyat haruslah santun, faktual dan bukan merupakan fitnah atau tuduhan-tuduhan tanpa bukti yang kuat.
Suatu hari ditariknya siang, Utsman dan Ali melihat Umar sedang mengejar unta zakat yang terlepas, sehingga mereka menegurnya, mengapa tidak menyuruh stafnya saja untuk melakukan itu. Maka Umar menjawab, “Jika ada seekor unta mati karena disia-siakan tidak terurus, aku takut Allah meminta pertangungjawaban kepadaku karena hal itu.”
Hal ini karena unta tersebut berada di wilayah kekuasaannya, Umar yakin ia bertanggung jawab atas keberlangsungan hidupnya. Ketika unta itu mati sia-sia; entah itu akibat kelaparan, tertabrak kendaraan, atau terjerembab di jalanan karena fasilitas yang buruk, Umar khawatir Allah akan meminta pertanggungjawaban kepadanya nanti di hari kiamat.
Semoga para pemimpin sekarang yang merasa mirip khalifah Umar bin Khatab, busa mengambil pelajaran secara cerdas, cermat dan tepat.
Wallahua’lam bi shahab. (Gaf)