SK Gubernur Lampung Tentang Sewa Lahan Kota Baru Cenderung Meminggirkan Para Petani

BERITA79 Dilihat

MEDIAPUBLIKA.com – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Lampung dan masyarakat tiga desa melakukan aksi penolakan Surat Keputusan (SK) Gubernur Lampung tentang sewa lahan Kota Baru Lampung Selatan, di Lingkungan Pemerintah Provinsi Lampung, Kamis (24/11/22).

Anggota LBH Bandar Lampung Prabowo Pamungkas selalu koordinator aksi menyampaikan, kami menolak kebijakan Gubernur Lampung yang memberlakukan sewa terhadap lahan Kota Baru, ratusan petani dari tiga desa lakukan aksi massa penolakan di komplek Pemerintah Provinsi Lampung. Kebijakan yang tidak bijak tersebut cenderung kian meminggirkan para petani yang mayoritas berasal dari Desa Sinar Rejeki, Desa Sindang Anom,  Desa Purwotani dan sebagian kecil dari daerah di sekitar tiga desa tersebut.

“Bahwa aktifitas penggarapan lahan untuk pertanian di wilayah Kota Baru tidak semata-mata dilakukan oleh masyarakat, lahan yang sebelumnya merupakan wilayah kehutanan yakni Register 40 Gedong Wani tersebut memiliki sejarah panjang yang melekat dengan masyarakat di sana,” jelasnya saat orasi di depan gerbang Pemprov Lampung.

Pamungkas menjelaskan, Dinamika pengelolaan lahan di wilayah Kota Baru tak terlepas dari peran masyarakat yang telah membuka lahan sejak tahun 1960an yang kemudian pada tahun 1970 terbitlah izin pengelolaan lahan kehutanan dari Dinas Kehutanan kala itu kepada beberapa perusahaan yang salah satunya adalah PT Mitsugoro yang kemudian melakukan penanaman Palawija (Jagung, sorgum, dan singkong).

“Hingga pada tahun 1984 PT Mitsugoro pun bangkrut dan meningkatkan lahan dengan menyisahkan HGU 20 tahun, yang kemudian pengelolaan lahan dilanjutkan oleh LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia). Selain meninggalkan lahan, sebagian masyarakat lainnya tidak memiliki pilihan lain selain bekerja pada PT Mitsugoro dan LIPI sebagai buruh upah yang bekerja merawat tanaman pertanian milik perusahaan,” kata dia.

Reformasi 1998, kata Pamungkas, menjadi titik balik masyarakat untuk melakukan reclaiming atau penguasaan lahan kembali di wilayah itu. Tahun 2001 masyarakat juga sempat dilibatkan dalam pembinaan oleh. Pemerintah melalui Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan), bahwa masyarakat melakukan penanaman tanaman tajuk tinggi, tajuk rendah dan tajuk sedang sebagai bentuk rehabilitasi Kawasan Hutan.

“Aktifitas penggarapan tersebut terus dilakukan hingga hari ini meskipun dalam perjalanannya pada tahun 2011 Pemerintah Provinsi Lampung menetapkan kebijakan pembangunan Kota Baru untuk pusat Pemerintahan Provinsi Lampung seluas 1300 Ha, melalui Peraturan Daerah Nomor 12 tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Lampung tahun 2009 sampai dengan 2029,” ucapnya.

Adapun protes ini dilakukan kembali hari ini karena terbitnya Surat Keputusan Gubernur Lampung Nomor G/293/VI.02/HK/2022 tentang Penetapan Sewa Tanah Kota Baru yang belum dipergunakan untuk kepentingan pembangunan Provinsi Lampung pada tanggal 22 April 2022 lalu, masyarakat penggarap dipaksa membayar sewa sebesar Rp300.000 (Tiga Ratus Rupiah) per meter untuk satu tahun.

“Kemudian Petani dibuat tidak memiliki pilihan ketika ia harus menerima intimidasi dari Satuan Petugas (Satgas) yang merupakan anggota Satpol-PP Provinsi yang berjaga di wilayah Kota Baru. Padahal jika mengingat program Gubernur Lampung soal Petani Berjaya,” jelasnya.

Oleh karena itu, dalam agenda aksi massa yang dilakukan masyarakat petani penggarap lahan Kota Baru bersama-sama dengan LBH Bandar Lampung menurut:

1. Cabut surat keputusan Gubernur Lampung Nomor G/293/VI.02/HK/2022 tentang penetapan sewa lahan tanah Kota Baru.

2. Hentikan segala bentuk intimidasi dan provokasi yang dilakukan terhadap masyarakat petani penggarap di lahan Kota Baru.

3. Buka ruang seluas-luasnya bagi masyarakat petani penggarap untuk dapat melakukan diskusi dan negosiasi terhadap upaya pemanfaatan lahan Kota Baru dengan Pemerintah Provinsi Lampung. (*).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *