MEDIAPUBLIKA.com – Mantan Kapolda Lampung 2016 Irjen Pol. (Purn) Drs. H. Ike Edwin, SH., MH., MM., turun tangan menengahi sengketa tanah di Sukarame Kota Bandarlampung, dan kebetulan objek tanah yang disengketakan berada diseberang kediamannya Lamban Gedung Kuning yang sampai saat ini telah masuk tahap konstatering atau pencocokan objek dari pihak Pengadilan Negeri Tanjungkarang.
Sengketa yang dimaksud adalah persoalan gugatan perdata dengan nomor perkara 119/Pdt.G/2018/PN Tjk, yang telah digelar persidangannya sejak 2018 lalu, dan sudah ditetapkan eksekusinya oleh Ketua PN Tanjungkarang pada 14 Juni 2022.
Dimana pada gugatan tersebut, terdapat empat pihak yang berperkara diantaranya Rastuti Marlena selaku Pemohon, serta Ida Kencana Wati, Timbul Afip dan Marsidah yang tercatat sebagai pihak Termohon I hingga III.
Dalam perkara itu, Rastuti Marlena pada akhirnya ditetapkan sebagai pemenang gugatan, terhadap kepemilikan sebuah objek tanah di wilayah Korpri, Kecamatan Sukarame Kota Bandarlampung.
Dari putusan inkracht tersebut, maka Rastuti Marlena pun memohonkan pelaksanaan eksekusi ke Pengadilan Negeri Tanjungkarang, yang pada Senin 9 Agustus 2022 kemarin PN melaksanakan konstatering guna mencocokkan objek yang dimaksud dengan sertifikat yang di miliki oleh pemohon eksekusi itu.
Persoalan gugatan ini rupanya menimbulkan polemik baru, sebab salah satu pihak Termohon bernama Marsidah, diketahui sampai saat ini masih berada di lokasi objek sengketa, untuk mempertahankan tanah yang diwariskan orang tuanya sejak 1952 silam.
Mengetahui masalah yang sedang menimpa wanita renta itu, Ike Edwin selaku tetangga dekat dan salah satu orang yang memahami silsilah lahan itu, tergerak hati untuk membantu meluruskannya.
Dimana hal yang sama turut disampaikannya kepada Pemohon dan para pihak yang hadir, saat pelaksanaan konstatering objek gugatan perdata tersebut.
“Apa yang saya sampaikan ini sama juga seperti yang saya sampaikan kepada pihak PN Tanjungkarang saat pelaksanaan konstatering kemarin, saya tergerak untuk meluruskan persoalan ini, sebab saya mengetahui persis lahan itu haknya ibu Mursidah,” jelas Ike Edwin, di Lamban Kuning, Bandarlampung, Selasa (9/08/22).
Dang Ike menjelaskan, bahwa lahan yang dimaksud berbeda dengan objek pada gugatan perdata yang dimohonkan oleh Rastuti Marlena. Dimana keterangannya itu, senada dengan hasil dari pencocokan pihak Pengadilan Negeri Tanjungkarang, yang menyatakan objek pengukuran tidak sesuai dengan sertifikat milik Pemohon eksekusi.
“Kemarin juga saya paparkan, dari 1952 ibu Marsidah menguasai fisik tanah. Dipakai untuk perkebunan seluas 1 hektare. Izin garapnya juga ada. Letaknya di blok H, sedang punya Pemohon itu blok F3. Itu jelas berbeda, kemarin pas pelaksanaan konstaterin baru ketahuan dan dinyatakan tidak cocok oleh PN,” ucapnya.
Lebih lanjut ia menguraikan, penyebab awal mula permasalahan mengapa lahan itu pada akhirnya menjadi objek sengketa perdata, dan sampai pada dilayangkannya gugatan ke Pengadilan oleh Rastuti Marlena.
Yang menurutnya, persoalan perebutan lahan seluas 600 meter persegi itu tak perlu terjadi, jika pihak Pemohon gugatan mengetahui persis letak tanah yang tercatat dalam surat kepemilikan yang dipegang olehnya.
“Di persoalan ini, sepengetahuan saya dari berpuluh tahun lalu ya ibu Marsidah yang menggarap lahan dan itu sah ada izin yang ia pegang di blok H. Waktu itu terbitlah sertifikat tanah yang di blok F3 Korpri pada 1991, cuma rupanya saat itu main tunjuk saja tanpa lihat-lihat itu blok mana, tau-tau di 2018 itu malah lahannya Mursidah diklaim sebagai objek pada sertifikat. Ini muncul masalah kan karena nggak dicek lokasi yang sebenarnya,” kata dia.
“Jadi kalau menurut sertifikat yang dimiliki oleh pihak pemohon, jelas bahwa lokasi tanah yang dimaksud dalam sertifikat tersebut adalah di lokasi F1 (Blok F), sesuai dengan Fersil,” jelas Dang Ike.
Lanjutnya, sementara tanah yang di miliki oleh termohon adanya di Blok H, jadi menurut saya ini bukan lokasi tanah yang sesuai dengan sertifikat yang dimiliki oleh pemohon, dan lokasi Blok F itu adanya disebelah sana lebih kurang 500 meter dari objek tanah ini.
“Ini sangat aneh, karena sertifikat yang di miliki oleh pemohon dikeluarkan oleh BPN Kota Bandarlampung pada tahun 1991, sementara Blok H ini baru masuk menjadi wilayah Kota Bandarlampung mulai tahun 2001, dimana sebelum tahun 2001, wilayah Blok H ini adalah merupakan wilayah Desa Way Huwi, Kecamatan Jati Agung, Kabupaten Lampung Selatan,” ucapnya.
Sementara diketahui, sengketa terkait sebidang tanah ini, kini tinggal menunggu keputusan dari pihak Kementerian Agraria dan Tata Ruang Badan Pertanahan Nasional Kota Bandarlampung.
Untuk selanjutnya menentukan lokasi pasti dari objek lahan, seperti yang dimaksudkan dalam sertifikat tanah yang saat ini dikuasai oleh Rastuti Marlena, sebagai pihak Pemohon eksekusi. (*).