Adi Giwox: Saya Sangat Kecewa di Kepemimpinan Arinal – Nunik

MEDIAPUBLIKA.com – Eksekusi pengosongan lahan yang ditempati sejumlah warga di Desa Way Hui, Kecamatan Jati Agung, Kabupaten Lampung Selatan oleh Pemprov Lampung memunculkan kesedihan mendalam bagi warga yang menjadi korban.

“Kalau perasan sudah gak karuan, hancur. Saya, anak saya dan kawan-kawan nangis melihat eksekusi tersebut,” jelas Adi Giwox (46) Salah satu warga korban Eksekusi lahan, Kamis (22/4).

“Aku nangis melihat eksekusi itu, karena apa ? saya ngontrak udah capek, mungkin kalau dihitung mungkin ada 15 kali pindah. Kapan sudah ada rumah pada 2013-2021, akhirnya digusur,” cerita dia.

Saat ini, kata dia, dirinya bersama isteri dan tiga orang anak tinggal di kios berukuran 3×6 meter persegi milik tetangganya.

“Jadi ceritanya setelah penggusuran itu, malam harinya kawan saya datang kerumah untuk melihat kondisi saya beserta keluarga. Saat itu saya masih nangis, kemudian kawan saya itu juga nangis karena melihat anak saya yang terus – terusan menangis,” katanya.

“Jadi sambil menangis, kawan saya itu  mengajak saya ke kiosnya dan meminta saya untuk tinggal di kios miliknya. Mau gimana lagi, keadaan sekarang lagi sulit benar, untuk ngontrak aja gak ada duit,” tambahnya.

Padahal, lanjut Adi, dirinya baru bisa mewujudkan cita-cita dan memenuhi janji bersama isteri untuk memiliki rumah setelah 10 tahun menikah.

“Dulu saya ada cita-cita bersama isteri setelah menikah pada tahun 2003 lalu, yakni kalau bisa sebelum anak saya SD, kami sudah memiliki rumah sendiri. Alhamdulillah saat itu, cita-cita kami belum terwujud juga. Begitu anak pertama saya masuk SMP pada tahun 2013 lalu. Saya membangun 2 kios dengan bata merah dulu setelah saya membeli tanah dari pak Sudaryanto dengan surat sporadik,” ucapnya.

“Satu kios saya kontrakan dan kios yang satunya saya tempatin bersama keluarga saya. Tidak lama setelah itu, saya bangun lagi dibelakang dengan modal seadanya. Karena tidak bisa membeli pintu, saya tutup pakai ambal. Sedih benar kalau mau nyeritain perjuangannya, Ya allah,” ucap dia.

Selain mengalami kerugian secara materi, ia menduga, saat ini anak – anaknya mengalami trauma atas penggusuran yang dilakukan oleh pemerintah tersebut.

“Anak saya yang tua sampai sekarang masih sering nangis, karena tahu rumahnya digusur. Sementara anak bungsu sepertinya  trauma kalau lihat PNS, seperti melihat pakaian Sat Pol PP dan guru, dia nangis tiba tiba. Takut pak, adek takut pak. Kemudian saya jawab, kenapa nak ? Itu kayak kemaren pak. Kemudian saya jawab lagi, tidak apa-apa nak, nanti kita buat rumah lagi,” jelasnya.

“Saat ini saya bingung apa yang harus sama sampaikan ke anak kedua saya. karena anak kedua saya akan pulang dari pondok ke rumah tanggal 2 Mei nanti melihat rumahnya sudah rata sama tanah,” katanya.

Selain itu, untuk menghidupi keluarganya, Ayah tiga anak ini mengaku mencari nafkah dengan mengumpulkan seng dan besi bekas yang diambil dari sisa – sisa penggusuran.

Karena, kata dia, dirinya tidak memiliki penghasilan lainnya setelah 3 ruko yang digunakan untuk menjual Sembako, jus dan foto copyan sudah diratakan oleh Pemprov Lampung.

“Kemarin untuk makan, saya menjual seng dan besi dari sisa -sisa eksekusi. Alhamdulillah, dapatlah uang dikit – dikit sehingga bisa untuk makan kami sekeluarga,” ucap dia.

Akibat eksekusi ini, ia mengaku kecewa dengan kepemimpinan Arinal Djunaidi – Chusnunia Chalim. “Saya sangat – sangat kecewa terhadap pemerintah. Saya diperlakukan bukan selayaknya warga negara Indonesia dan rakyat dari daerah yang dia pimpin, tetapi seperti perampok,” ungkapnya.

“Padahal waktu Arinal waktu nyalon Gubernur kemarin, saya dan keluarga milih dia langsung dari hati. Karena saya pernah shalat bareng di Masjid. Saya lihat dan menilai orangnya baik dan bagus. Kemudian saya bilang sama istri kita pilih dia aja. Akhirnya kami milih dia,” ujarnya.

“Dulu saya sering ngomong sama anak saya dan berharap anak-anak saya bisa berguna bagi Nusa dan bangsa. Terus kalau model hukum gini, bangsa yang mana, keadilan yang mana,” tegas dia. (**).