MEDIAPUBLIKA.com – Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) menilai rendahnya angka Indek Pembangunan Literasi Masyarakat (IPLM) Provinsi Lampung karena belum adanya gerakan yang mampu menstimulir terciptanya atmosfir yang mendukung tumbuhnya budaya literasi.
Penilaian ini disampaikan Ketua AMSI Wilayah Lampung, Hendri Std, dalam Forum Group Discussion (FGD) bertema Penguatan Literasi Digital Menjawab Perda Nomor 17 Tahun 2019 tentang Peningkatan Budaya Literasi.
“Hari ini benar Lampung sudah memiliki Satgas Gerakan Literasi Sekolah atau GLS yang jenjangnya dari tataran provinsi kemudian Kabupaten/kota hingga ke satuan pendidikan. Namun persoalannya sudah sejauh mana langkah yang dilakukan untuk menjalankan regulasi perda tersebut,” ungkapnya, saat menjadi pembicara pertama dalam FGD, Senin (27/5/2024).
Jangan sampai, imbuhnya, infrastruktur yang sudah ada itu hanya berhenti pada sekadar keberadaan kelembagaan. Jangan pula, sambung Hendri lagi, kalau pun mulai terlihat ada gerakan literasi yang dihelat GLS tapi hanya bersifat seremonial, lantas berlalu tanpa berkesinambungan.
“Menurut saya untuk merubah perilaku, apalagi berkeinginan menjadikannya sebagai budaya, langkah awalnya tiada lain mesti dimulai dengan pembiasaan. Sebaliknya, kegiatan yang berlangsung parsial dan tidak berkesinambungan cenderung tidak merubah keadaan. Karena persyaratan dasar yakni upaya pembiasaan belum terpenuhi,” jelasnya.
Untuk itu, imbuh Hendri, Satgas GLS bersama kepala-kepala sekolah hendaknya mulai merubah paradigma dalam memaknai betapa krusialnya membudayakan literasi. Apalagi, sambungnya, mayoritas sekolah sudah memiliki website. Fasilitas ini kiranya dapat dijadikan sebagai media pembelajaran yang efektif sekaligus efisien bagi warga sekolah.
“Kalau sekolah terkendala dengan ketiadaan SDM yang mampu menulis untuk mengisi materi website sekolah, AMSI Lampung bersedia berbagi kiat menulis dasar, baik penulisan fiksi maupun nonfiksi, melalui pelatihan. Kami menyadari pelatihan sehari belum memadai untuk mentransformasi kemampuan menulis kepada tim literasi sekolah yang berisikan pelajar dan guru. Untuk itu proses pembelajaran masih bisa terus dilanjutkan via WhattsApp group. Warga sekolah bisa tetap learning by doing dibawah bimbingan anggota AMSI Lampung,” urainya.
Output pelatihan penulisan, terang Hendri, diharapkan menghasilkan tim literasi sekolah yang mampu menyusun tulisan sebagai materi untuk di posting ke website sekolah.
“Bila kemampuan itu ditularkan kepada pelajar dan guru lain, lalu terbentuk komunitas menulis dan proses getok tular terus dilangsungkan, bukan tidak mungkin secara bertahap komunitas literate ini akan menjadi bola salju yang terus menggelinding dan bertambah besar. Pada tahapan ini pembiasaan sudah berlangsung dan proses ini mesti kontinyu dirawat agar gerakan literasi di sekolah benar-benar membudaya,” urainya.
Deni Ribowo, anggota Komisi V DPRD Lampung, juga memandang perlu upaya pembiasaan dipraktekkan sebagai awal membudayakan literasi di sekolah. “Agar kita bisa disiplin untuk terus membaca setiap hari, kita bisa menerapkan metode Kaizen,” ucap wakil rakyat dari Fraksi Demokrat ini.
Dijelaskan olehnya, metode Kaizen berasal dari budaya masyarakat Jepang yang merupakan kebiasaan melatih disiplin dalam berbagai hal.
“Teknik Kaizen menerapkan sebuah pekerjaan yang dilakukan secara disiplin dalam waktu yang sama setiap harinya. Metode ini sebenarnya bisa kita terapkan untuk menumbuhkan budaya literasi di sekolah. Misalnya, setiap hari jam 8 pagi pelajar di semua kelas serentak membaca buku selama 15 menit. Usahakan dilakukan pada jam atau waktu yang sama setiap harinya. Pembiasaan ini kalau konsisten dilakukan diyakini bisa membangun budaya literasi warga sekolah,” urai Deni.
Dirinya juga sepakat dengan AMSI Lampung, bahwa upaya membangun gerakan literasi di sekolah bisa dimulai dengan mengoptimalkan pengelolaan website sekolah.
“Itu dua contoh sederhana yang sesungguhnya sangat mungkin diterapkan di sekolah. Apalagi kalau keduanya bisa disinergikan. Dimana setiap pagi pelajar menerapkan metode kaizen dengan disiplin membaca. Bahan bacaannya bisa dilihat dari materi yang ada di website sekolah.
Melalui pembiasaan ini warga sekolah akan akrab dengan keberadaan website sekolah. Ini menjadi stimulir yang baik untuk memotivasi pelajar dan guru menghasilkan karya tulis yang bisa di posting ke website sekolah. “Karena mereka tahu tulisan itu esok pagi akan dibaca secara massal oleh murid di seluruh kelas di sekolah itu. Persoalannya sekarang, adakah keseriusan pada para pengambil kebijakan di sekolah untuk mengimplementasikannya,” tandas Deni. (*)