Dua Puluh Satu Ribu Area Lahan TNBBS Diduga Masuk Daftar Bahaya

BERITA13 Dilihat

MEDIAPUBLIKA.com – Eksploitasi sumber daya alam kerap menjadi dilema antara kebutuhan ekonomi masyarakat dan upaya pelestarian lingkungan.

Salah satu contoh nyata dapat ditemukan di kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), yang wilayahnya mencakup sebagian Lampung Barat, Pesisir Barat, dan Tanggamus.

Tercatat, sekitar 21 ribu area dari total 313.572,48 are lahan TNBBS kini diduga masuk dalam kategori in danger list atau daftar bahaya. Hal ini ditengarai akibat meningkatnya aktivitas penggarapan lahan oleh masyarakat, khususnya di wilayah Dusun Talang Kudus, Pekon Suoh, Kecamatan Bandar Negeri Suoh, Lampung Barat.

Berdasarkan data lapangan, masyarakat di kawasan tersebut diketahui menanami lahan konservasi dengan tanaman kopi.

Padahal, menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, pemanfaatan lahan konservasi hanya diperbolehkan untuk jasa lingkungan seperti wisata alam, energi air, panas bumi, matahari, angin, serta karbon.

Aktivitas budidaya tanaman, seperti kopi, tidak termasuk dalam kategori yang diperbolehkan dan dapat dianggap sebagai pelanggaran.

Menanggapi hal tersebut, Bupati Lampung Barat Parosil Mabsus menyarankan agar konfirmasi lebih lanjut dilakukan kepada pihak TNBBS.

“Terkait hal tersebut lebih baik konfirmasi ke pihak yang lebih berkompeten, yaitu Bagian TNBBS perwakilan Provinsi Lampung,” ujarnya saat dikonfirmasi melalui aplikasi WhatsApp.

Sementara itu, Anggota Komisi II DPRD Provinsi Lampung, Mikdar Ilyas, mengingatkan agar persoalan ini tidak disikapi secara sepihak.

“Permasalahan TNBBS di Lampung Barat perlu dikaji lebih dalam dari sisi regulasi. Jangan sampai ada kesalahan tafsir atau sasaran. Perlu pendalaman lebih lanjut terhadap data dan indikasi pelanggaran dalam pengelolaan kawasan ini,” jelas Mikdar, Kamis (10/4/25).

Permasalahan ini memperlihatkan pentingnya keseimbangan antara upaya pelestarian lingkungan dan kebutuhan ekonomi masyarakat yang hidup di sekitar kawasan konservasi. Pemerintah dan pemangku kebijakan diharapkan dapat mencari solusi yang adil dan berkelanjutan. (*).