Ikaperta Unila Apresiasi Langkah Presiden Prabowo Subianto Tetapkan HPP Gabah Rp6.500

BERITA11 Dilihat

MEDIAPUBLIKA.com – Ketua Harian Ikatan Alumni Pertanian (Ikaperta) Universitas Lampung (Unila), Fahuri Wherlian Ali KM, menilai kebijakan Presiden Prabowo Subianto dalam menetapkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah sebesar Rp6.500 per kilogram sebagai langkah cerdas dan tepat sasaran untuk memperkuat posisi petani.

“Ini solusi cerdas. Dengan HPP Rp6.500, petani bisa naik kelas menjadi pengusaha dan tidak lagi bergantung sepenuhnya pada pupuk subsidi yang jumlahnya terbatas,” ujar Wherlian kepada wartawan, Jumat, 18 April 2025.

Namun, Wherli menyoroti tantangan serius di lapangan, terutama pada sisi penyerapan gabah oleh pembeli. Ia menyebut, realitasnya, sebagian besar pelaku usaha penggilingan padi masih kesulitan menyerap gabah sesuai HPP karena keterbatasan kapasitas dan efisiensi mesin.

“Bulog memang mampu menyerap sekitar 20 persen. Itu karena fungsinya jelas, untuk cadangan pangan nasional, bantuan bencana, dan bantuan sosial. Tapi 80 persen lainnya diserahkan ke pasar,” jelasnya.

Pasar yang dimaksud, lanjutnya, adalah penggilingan padi yang tergabung dalam Perpadi (Perhimpunan Pengusaha Penggilingan Padi dan Beras Indonesia) serta perusahaan besar. Di sinilah masalah utama muncul.

“Mesin penggilingan milik anggota Perpadi banyak yang sudah tua. Rendemen mereka hanya 60–65 persen. Sementara perusahaan besar bisa sampai 75 persen. Ini jelas membuat penggilingan kecil tidak sanggup menyerap gabah dengan harga Rp6.500 karena berpotensi rugi,” ungkapnya.

Wherli mencontohkan, dari 100 kg gabah kering yang digiling RMU dengan rendemen 60%, hanya dihasilkan 60 kg beras. Dengan harga jual beras medium di kisaran Rp12.500 per kg, keuntungan sangat tipis, bahkan bisa rugi.

“Kalau perusahaan besar seperti Wilmar, mereka nyaman karena rendemen tinggi dan bisa menjual beras premium seharga Rp15.800. Wajar kalau Perpadi menjerit. Tapi jangan sampai petani juga ikut menjerit,” tegasnya.

Sebagai solusi, Wherli mendorong skema kolaborasi antara RMU kecil dan perusahaan besar. RMU sebaiknya hanya menggiling gabah menjadi pecah kulit, lalu menjualnya ke perusahaan besar yang punya mesin modern.

“RMU jangan memaksa memproduksi beras. Fokus di pecah giling saja. Kalau bisa beli gabah Rp6.500, silakan. Kalau tidak, kerja sama saja,” ujarnya.

Ia juga mendorong pemerintah untuk memberikan dukungan nyata berupa kredit lunak kepada RMU di desa-desa guna meng-upgrade teknologi mereka agar rendemen meningkat hingga 72–75 persen.

“Kalau itu dilakukan, semua senang. Petani senang karena harga stabil, PERPADI tenang karena tidak rugi, dan pemerintah berhasil menjaga keseimbangan pasar,” kata Wherli.

Wherli berharap diskursus soal harga gabah tidak hanya berhenti pada kebijakan makro, tetapi juga disertai langkah teknis dan strategis agar petani tetap menjadi pihak yang paling diuntungkan. (*).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *