MEDIAPUBLIKA.com – Kementerian Agraria dan Tata Ruang Badan Pertanahan Nasional Melaksanakan Sosialisasi Kebijakan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, di Hotel Novotel, Kamis (20/5/2021).
Direktur Jenderal Tata Ruang Kementerian ATR/BPN Abdul Kamarzuki mengatakan, Pemerintah secara resmi telah menerbitkan 49 aturan turunan Undang-undang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) yang terdiri dari 45 peraturan pemerintah (PP) dan empat Peraturan Presiden (Perpres), perangkat regulasi tersebut merupakan aturan pelaksana Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
“Salah satu PP yang termasuk dalam 49 aturan turunan UU Cipta Kerja adalah PP Nomor 21 Tahun 2021 tentang penyelenggaraan penataan ruang. UU Cipta Kerja dan PP Nomor 21 Tahun 2021 merupakan langkah strategis Pemerintah dengan tujuan untuk meningkatkan ekosistem dan kegiatan berusaha dengan menyederhanakan (streamlining) proses perizinan berusaha,” jelas Abduk Kamarzuki.
Ia menjelaskan, Undang-undang Cipta Kerja dan PP Nomor 21 Tahun 2021 memberi kepastian perizinan berusaha, PP Nomor 21 Tahun 2021 memiliki terobosan-terobosan dalam kebijakan penyelenggaraan penataan ruang, antara lain penyederhanaan produk Rencana Tata Ruang (RTR), integrasi tata ruang darat dan laut, percepatan penetapan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) dan juga Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi dan Kabupaten/kota, serta adanya mekanisme baru Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR) untuk kegiatan berusaha dan non berusaha.
“Salah satu terobosan dalam PP baru ini adalah Rencana Tata Ruang (RTR) sebagai landasan KKPR sebagai dasar perizinan yang posisinya berada di hulu, sehingga saat ini RTR menjadi acuan tunggal (single reference) di lapangan,” ucapnya.
Selain itu, UU Cipta Kerja juga mengamanatkan untuk mengintegritaskan tata ruang laut dan darat menjadi satu, salah satunya dengan integrasi Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP-3-K) ke dalam RTRW Provinsi.
“Dengan integrasi ini, diharapkan tidak akam ada produk tata ruang yang berjalan sendiri-sendiri sehingga tumpang tindih perizinan pun dapat dihindari,” tambahnya.
Terobosan berikutnya berada dalam proses penyusunan dan penetapan RTR. Sebelumnya PP ini dibentuk, jangka waktu penyusunan dan penetapan RTR tidak dibatasi sehingga terdapat daerah-daerah yang tertinggal karena proses penyusunan RTR-nya memakan waktu yang sangat lama.
“Oleh karena itu PP ini menetapkan jangka waktu untuk penyusunan RTRW paling lama 18 bulan, sedangkan RDTR paling lama 12 bulan. Hal ini dilakukan pemerintah pusat sebagai dorongan untuk Pemerintah daerah agar setiap daerah memiliki RTR masing-masing sehingga dapat melaksanakan mekanisme KKPR dan mempercepat investasi yang masuk ke daerah tersebut,” katanya. (**).