LAdA DAMAR Selenggarakan Pencegahan dan Penanganan TPPO Provinsi Lampung

BERITA3 Dilihat

MEDIAPUBLIKA.com – Tim Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) Provinsi Lampung menyusun prosedur layanan rujukan penanganan kasus kekerasan berbasis gender. Selain memperkuat sinergi antar lembaga pemberi layanan, prosedur itu dibutuhkan untuk memperkuat perlindungan terhadap perempuan dan anak yang menjadi korban.

Kegiatan yang berlangsung di Bandar Lampung itu diselenggarakan oleh Perkumpulan LAdA DAMAR atas dukungan UN Women Program Safe and Fair. Adapun Satgas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) sendiri terdiri dari unsur pemerintahan, penegak hukum, dan lembaga swadaya masyarakat.

Direktur Eksekutif Perkumpulan LAdA DAMAR Lampung, Sely Fitriani mengatakan Standar Operasional Prosedural (SOP) itu diperlukan karena sebagian besar korban kekerasan berbasis gender menghadapi permasalahan yang kompleks. Kondisi itu membuat mereka membutuhkan pendampingan yang komprehensif.

Di sini lain, korban kerap mengalami kendala karena layanan yang dibutuhkan tidak tersedia di lembaga tempat korban melapor. Lembaga layanan juga seringkali menerima laporan di luar lokasi wilayah kerjanya.

“Layanan rujukan adalah layanan yang diberikan kepada perempuan dan anak korban kekerasan berbasis gender, dan tindak pidana perdagangan orang melalui komunikasi dan koordinasi kepada lembaga penyedia layanan berdasarkan kebutuhan korban guna mendapatkan pemulihan yang komprehensif,” kata Sely, di Bandar Lampung, Senin (21/3/22).

Ia menambahkan, layanan rujukan akan dipakai untuk menangani berbagai kasus yang membutuhkan penyelesaian multi pihak dan penanganan jangka panjang. Dengan adanya layanan rujukan, pelimpahan kasus pada lembaga lain akan disertai proses pemantauan dan evaluasi sehingga menjamin adanya perlindungan dan kepastian layanan bagi korban.

Sedangkan menurut Nunik Nurjanah selaku National Programme Officer UN Women Indonesia menyampaikan, apresiasi pada Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Lampung atas komitmennya menghapuskan kekerasan pada perempuan dan pekerja migran. Ia berharap, program penyusunan Standar Operasional Prosedural (SOP) layanan rujukan ini mendapat dukungan dari pemerintah daerah.

“Program ini merupakan bagian dari Program Safe and Fair yang didanai oleh Uni Eropa dan digelar 10 negara di Asia Tenggara. Tujuan dari program ini adalah untuk mewujudkan migrasi yang aman bagi perempuan dan pekerja migran,” jelas Nunik.

Nunik mengungkapkan, pandemi Covid-19 berdampak pada kehidupan pekerja migran Indonesia. Selama pandemi, ada lebih dari 180.000 pekerja mgran yang kembali ke tanah air. Banyak juga dari mereka yang menunda keberangkatannya ke luar negeri.

Kondisi itu membuat mereka rentan mengalami kekerasan berbasis gender. Desakan ekonomi membuat banyak perempuan dan anak yang tergiur menjadi pekerja migran tanpa prosedur yang tepat atau ilegal.

“Inilah mengapa penting Standar Operasional Prosedural (SOP) layanan karena korban seringkali mendapat layanan yang tidak berkualitas. Prinsip dari mekanisme rujukan yang baik ini adalah bahwa satu pintu harus menjadi pintu yang baik untuk para korban,” paparnya.

“Perkembangan teknologi yang semakin canggih serta masifnya penggunaan media sosial telah menghadirkan bentuk baru kekerasan berbasis gender. Salah satunya adalah kekerasan berbasis gender online,” kata Kepala Bidang Pemenuhan Hak Perempuan dan Anak Dinas PPPA Provinsi Lampung, mewakili Kepala Dinas PPPA Lampung, Nelda Efrina.

Menurut dia, semua orang bisa menjadi korban kekerasan berbasis gender, termasuk perempuan dan anak. Modus dan tipe kekerassn berbasis gender pun beragam, antara lain pelecehan daring, peretasan, hingga ancaman distribusi foto atau video pribadi dan pencemaran nama baik.

“Berdasarkan laporan tahunan Komnas Perempuan tercatat 940 kasus kekerasan pada tahun 2020. Adapun berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak, pada Januari 2022 tercatat ada 682 kasus kekerasan. Sebanyak 654 korban merupakan perempuan (anak dan dewasa),” ucapnya.

Untuk itulah, diperlukan upaya untuk mengkoordinasikan layanan antar lembaga terkait sebagai upaya pencegahan dan penanganan kasus kekerasan berbasis gender dan TPPO.

“Draft Standar Operasional Prosedural (SOP) layanan rujukan yang sedang disusun ini diharapkan juga bisa menjadi landasan hukum dan produk kebijakan sehingga upaya perlindungan bagi perempuan dan anak korban kekerasan berbasis gender menjadi lebih kuat,” tutupnya. (Mp/*).