MEDIPUBLIKA.com – Putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang bersifat final dan mengikat bertentangan dengan tujuan dibentuknya lembaga DKPP sebagai salat satu lembaga penyelenggara Pemilu dan sebagai lembaga penjaga keadilan yang melanggar hak konstitusional warga negara dalam mencari keadilan dan kepastian hukum.
Pernyataan itu disampaikan ahli hukum tata negara DR. Khairul Fahmi dalam persidangan pengujian undang undang pemilu yang diajukan pemohon di Mahkamah Konstitusi, Kamis (4/11) siang.
Khairul menyatakan, lembaga DKPP itu setara dengan lembaga lainnya seperti komisi pemilihan umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu ( BAWASLU) sebagai penyelenggara pemilu.
Menurutnya, karena DKPP memiliki posisi yang sama dengan KPU dan BAWASLU. Maka putusannya juga merupakan keputusan tata usaha negara (KTUN) yang dapat diuji langsung kepada pengadilan tata usaha negara (PTUN).
Dia menyampaikan, tidak bisa DKPP kedudukannya lebih superior atau tinggi dari lembaga KPU dan Bawaslu. Karena ketiga lembaga tersebut satu kesatuan yang telah diatur diamanatkan sebagai penyelenggara pemilu.
“Untuk itu, frasa final dan mengikat harus dinyatakan bertentangan dengan undang undang dasar sepanjang dimaknai sebagai keputusan tata usaha negara yang dapat diuji langsung ke pengadilan tata usaha negara,” jelasnya.
Dalam keterangan ahli lainnya, DR Fernando menjelaskan putusan DKPP adalah putusan hukum. Karena ketika etika dikodifikasi dan ditegakkan, maka putusan itu adalah putusan hukum.
“Tidak ada namanya peradilan etik, karena itu istilah penegakan etika itu sesat pikir. Yang ada penegakan hukum,” tegasnya.
Menurut Fernando, tidak ada yang boleh menghentikan orang untuk mencari keadilan. Karena keadilan tidak pernah berhenti pada satu titik.
Untuk itu, dia menambahkan DKPP sebagai penjaga keadilan justru bertentangan dengan frasa final dan mengikat. Frasa itu dengan sendirinya menghentikan orang untuk mencari keadilan itu sendiri.
dalam kesempatan itu, ahli DR. Harsanto Nursadi menjelaskan bahwa putusan DKPP itu bersifat konstitutif. Sehingga bisa langsung diuji ke peradilan tata usaha negara. Namun pada prakteknya, DKPP sendiri menyatakan putusannya tidak dapat dikoreksi karena putusannya bersifat final dan mengikat.
“Mahkamah Konstitusi harus menafsirkan dengan jelas frasa final dan mengikat tersebut agar dapat menciptakan keadilan dan kepastian hukum,” tutupnya.
Akan Ajukan 3 Ahli dan 4 Saksi Fakta
Kuasa hukum pemohon Fauzi Heri dan Juendi Leksa Utama menyampaikan akan kembali menghadirkan tiga ahli, yaitu ahli hukum kepemiluan, ahli hukum dan hak asasi manusia, dan ahli tata usaha negara.
“Ahli akan menerangkan frasa final dan mengikat putusan DKPP bertentangan dengan undang-undang dasar 1945. Sehingga Mahkamah berkenan mengabulkan permohonan kami,” tutupnya. (Rlis/MP).