Pendapat Saksi Ahli yang Dihadirkan Terdakwa yang Membantah Pendapat Ahli Sebelumnya

Hukum7 Dilihat

MEDIAPUBLIKA.com – Agenda Sidang pada hari Selasa 14 November 2023 di Pengadilan Negeri Sukadana, Lampung Timur mendengar Keterangan Ahli Pidana dari Jaksa, Prof. Dr. Agus Surono S.H, M.H dari Universitas Pancasila dan Ahli pidana dari terdakwa, Dr. Yongki Fernando SH., MH., dari Universitas Borobudur Jakarta.

Namun saksi Ahli Pidana dari Jaksa dinyatakan tidak bisa hadir dan kemudian disepakati untuk mengabaikan keterangan beliau dalam BAP yang disampaikan dalam penyidikan Polda Lampung.

“Ahli terdakwa (Dr. Yongki Fernando S.H, M.H) mengemukakan dalam teori Hukum Pidana, proses terjadinya Peristiwa Pidana harus didahului dengan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang kemudian dapat menimbulkan kerugian,” jelas Sutanto, S.H., Penasehat Hukum Daniel Marshall Purba dari Kantor Hukum Adheri Sitompul, S.H., M.H., Rabu (15/11/23).

Surat Dakwaan JPU dalam Kasus tersebut, kata Sutanto, adalah Dugaan Pelanggaran pasal 263 ayat 1; 263 Ayat 2 KUHP dan 266 Ayat 1 KUHP.

“Untuk Pasal 266, menjadi tidak dapat digunakan karena mensyaratkan Akte Autentik, sementara Surat Keterangan hilang maupun paspor bukan merupakan Akte Autentik, dikarenakan sebuah Akta Autentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang dan ada nomeklantur “Akta”, contoh: Akta Notaris, Akta Lahir, Akta Nikah, dengan sebagai berikut,” ucapnya.

Untuk Pasal 263, lanjutnya, unsur dapat merugikan tidak terpenuhi karena Paspor tersebut tidak menghilangkan Hak Anak, atau menimbulkan Hak bagi yang tidak berhak, dimana Data Anak Ezekiel Gionata Purba tidak berubah, orang tua baik Ayah dan Ibu tidak berubah, peristiwa tersebut juga tidak memberikan kerugian terhadap anak selaku pemilik paspor dan justru memberi kesempatan bagi anak untuk mendapatkan Vaksin tahap kedua di kediaman mereka di Singapura.

Ahli kemudian memberikan contoh lain mengenai peristiwa orang tua yang kadang memalsukan usia anaknya agar bisa mendapatkan SIM lebih awal. Hal ini merupakan Peristiwa melawan Hukum, akan tetapi bukan Peristiwa Pidana karena pemilik SIM tersebut tidak dirugikan atas peristiwa melawan Hukum tersebut.

“Dalam kedua peristiwa diatas, Pengakuan orang lain yang merasa dirugikan selain objek peristiwa tersebut (keduanya adalah si anak sebagai pemilik paspor pada kasus perkara dan SIM pada contoh yang diberikan) adalah pengakuan yang subjektif dan harus diabaikan dalam peristiwa tersebut,” kata dia.

Bahkan dalam jawaban atas pertanyaan terdakwa, Ahli memberikan penegasan bahwa apabila terdakwa kemudian gagal memberikan vaksin terhadap anak yang kemudian berdampak pada Kesehatan anak, atas peristiwa tersebut maka terdakwa bisa dituntut secara pidana, tentang penelantaran anak.

Saat dipertanyakan kembali oleh terdakwa mengenai pendapat ahli pidana yang dihadirkan oleh Jaksa Pada persidangan sebelumnya, bahwa pemenuhan unsur pasal 263 yang dilakukan oleh Daniel terjadi akibat surat keterangan hilang yang dibuat di Polsek Braja Selebah dengan keterangan yang tidak benar (hilang ternyata tidak hilang) menimbulkan hak bagi terdakwa untuk membuat paspor baru anak terdakwa,

Dr. Yongki tidak sependapat dan menyatakan surat tersebut tidak menimbulkan hak untuk terdakwa membuat paspor baru anak kandungnya, akan tetapi status nya sebagai orang tua kandung anak tersebutlah yang memberikan terdakwa hak untuk membuat paspor anaknya, Hal ini bisa dibuktikan dengan apabila orang lain yang membawa surat keterangan hilang tersebut untuk membuat paspor baru untuk anak terdakwa, permohonan tersebut akan ditolak oleh pihak Imigrasi. (*).